NUSRAMEDIA.COM, MATARAM — Praktek pungutan liar (pungli) ditengarai masih kerap terjadi, tidak terkecuali di wilayah hukum NTB. Tangan-tangan jahil oknum pelaku pungli belum juga kapok bermain di sektor sektor layanan publik dan korbannya adalah masyarakat.
Karenanya, dalam upaya preventif dan mengamputasi praktek kotor tersebut, Satuan Tugas (Satgas) Sapu Bersih (Saber) pungli Provinsi NTB terus mengoptimalkan upaya pembinaan dan penyuluhan (Binluh).
Inspektur Provinsi NTB, Ibnu Salim, SH.M.Si (Jumat siang, 14/12-2018) saat dikonfirmasi disela-sela kegiatan jumpa Bang Zul-Rohmi di Lapangan Bumi Gora Mataram mengungkapkan bahwa kegiatan binluh satgas saber pungli NTB menyasar pada sejumlah lembaga layanan publik yang memiliki potensi kerawanan terjadinya pungli.
Menurut data survey dari lembaga-lembaga anti korupsi seperti KPK dan LSM anti korupsi, termasuk Satgas Saber Pungli, terang Ibnu Salim setidaknya 10 lembaga layanan publik punya potensi kerawanan pungli.
Diantaranya adalah lembaga layanan perijinan, pendidikan, lembaga pengadaan barang jasa, pengelolaan keuangan dan bansos, perpajakan dan perbankan, pendapatan daerah, pengelolaan aset, layanan kesehatan, pemerintahan desa, perhubungan dan sektor-sektor layanan lainnya.
Ia menjelaskan sejak Januari hingga Nopember 2018 Satgas Saber pungli Provinsi NTB, yang dipimpim langsung Irwasda Polda NTB telah menggelar 12 kali binluh dan 4 Kali diundang sebagai Narasumber untuk menyampaikan materi pencegahan pungli dalam berbagai kegiatan Workshop dan pelatihan yang dilaksanakan oleh sejumlah elemen masyarakat.
Forum itu, kata Ibnu dimanfaatkan untuk mensosialisasikan strategi dan tips-tips pencegahan pungli secara kolektif dan terintegrasi antara semua pihak, baik oleh aparatur pemberi layanan dan penerima layanan maupun masyarakat secara keseluruhan. “Seringkali pungli terjadi karena ketidaktahuan saja”, ungkap Inspektur yang pernah menjadi Penjabat Bupati lombok Tengah itu.
Selain Binluh, pihaknya juga terus mendorong Inspektorat Kabupaten/Kota se-NTB agar lebih proaktif menfasilitasi kegiatan Satgas Saber pungli di daerahnya masing-masing. Sebab di tingkat pemerintahan inilah yang bersentuhan langsung dengan pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat.
“Alhamdulillah, berkat koordinasi dan kerja sama yang baik diantara seluruh unsur Saber Pungli di tingkat Kabupaten/Kota, telah berhasil menindak praktek kotor oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab melalui OTT, seperti di KLU, Mataram, Bima, KSB dan sejumlah OTT lainnya. Penindakan ini tentu terus diback up oleh Polda NTB selaku pembina,” pungkasnya.
Selain binluh dan penindakan oleh Pokja Penindakan serta pengintaian oleh Pokja Intelijen, Irbansus pada Inspektorat Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, S.Sos.MH menambahkan bahwa pihaknya juga menyediakan posko layanan Pengaduan masyarakat untuk melayani masyarakat yang ingin melaporkan berbagai bentuk dugaan peyimpangan di birokrasi pemerintahan.
Disamping pelayanan melalui posko dan media elektronik, ia juga melayani permintaan konsultasi terutama jika pelapor menghadapi keragu-raguan dalam melaporkan suatu kasus. “Mungkin pelapor kurang memahami prosedur dan ketentuannya, atau bahkan takut diintimidasi oleh terlapor, sehingga banyak pelapor yang datang hanya konsultasi saja dulu,” terang Gde kepada media ini, Ahad 16 Desember 2018.
Ia memaparkan bahwa sejak Januari hingga awal Desember 2018, jumlah pengaduan yang diterima inspektorat mencapai 59 pengaduan masyarakat. Dari jumlah tersebut, 9 laporan diantaranya merupakan dugaan pungli.
Selebihnya laporan dugaan korupsi, kolusi dan nepotisme serta laporan kehilangan aset yang menimbulkan kerugian negara/Daerah. Ada juga laporan dugaan pemerasan dan asusila meski intensitasnya sangat kecil.
Mantan Kabag Pemberitaan ini lebih lanjut menjelaskan bahwa seluruh pengaduan tersebut ditindaklajuti dalam bentuk klarifikasi atau pemeriksaan investigasi. Terkait Pungli, Aryadi menjelaskan bahwa pada prinsipnya segala pungutan yang tidak didasarkan pada aturan, sejatinya adalah pungutan liar (Pungli).
Untuk mengamputasi praktek kotor seperti ini, selain butuh keberanian, juga perlu dibangun masyarakat kritis. Yakni berani menolak pungutan yang tidak jelas. Berani menanyakan Standar pelayanan bila penyelenggara layanan tidak mengumumkan atau memaklumatkan Standar pelayanannya di loket-loket pelayanan.
Dari Standar pelayanan tersebut, kata dia, masyarakat dapat mengetahui informasi tentang jenis layanan, syarat layanan, besarnya biaya layanan beserta dasar hukum/aturannya dan waktu yang dibutuhkan untuk penyelesaian pengurusan layanan.
“Jika tidak ada standar layanan tersebut, jangan mau bayar. Sebab kalau bayar, berarti masyarakat ikut mendukung pungli,” ujar Gde. Menurutnya, peningkatan jumlah pengaduan masyarakat terkait dugaan pungli saat ini adalah cerminkan tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat yang makin baik terhadap pemberantasan dan pencegahan korupsi. (NM1)
