Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari Dapil NTB 1 Pulau Sumbawa, H. Johan Rosihan, ST. (Ist)

NUSRAMEDIA.COM — Anggota DPR RI Fraksi PKS, H. Johan Rosihan, ST menerima aspirasi Forum Komunikasi Pengusaha Lokal (FKPL) Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Mereka meminta kepada pemerintah untuk meninjau ulang terkait kebijakan larangan ekspor konsentrat PT Amman Mineral Nusa Tenggara (PT. AMMAN).

Aspirasi itu disampaikan melalui surat resmi Nomor : 003/FKPL/VIII/2025 tertanggal 13 Agustus 2025 yang ditujukan kepada anggota DPR RI Dapil NTB 1 Pulau Sumbawa. Rabu (10/09/2025), Johan Rosihan yang dikonfirmasi membenarkan adanya perihal tersebut. Menurut dia, keresahan FKPL KSB mencerminkan kondisi riil di lapangan.

Pasalnya, kebijakan larangan ekspor konsentrat itu, berdampak serius terhadap usaha-usaha lokal yang selama ini menjadi mitra rantai pasok operasional tambang Batu Hijau. “Saya mendukung penuh permintaan FKPL agar pemerintah segera mengambil langkah cepat,” kata Legislator Senayan jebolan Dapil NTB 1 Pulau Sumbawa tersebut.

Baca Juga:  Ardiansyah Resmi Nahkodai DPD PKS KSB Periode 2025-2030

“Jangan sampai pengusaha lokal dan masyarakat KSB yang sudah lama menopang aktivitas pertambangan justru menjadi pihak yang paling merasakan dampak berat dari kebijakan ini,” tegas Johan Rosihan. Dalam suratnya, FKPL mengungkapkan bahwa larangan ekspor konsentrat telah menimbulkan gejolak ekonomi di daerah.

Laporan keuangan kuartal I dan II PT Amman Mineral mencatat rugi bersih masing-masing Rp 2,3 triliun dan Rp 2,4 triliun akibat belum beroperasinya smelter secara penuh sementara ekspor sudah tidak diperbolehkan. Kondisi ini berpotensi menghentikan produksi karena konsentrat yang menumpuk tidak lagi dapat ditampung oleh fasilitas penyimpanan.

Johan Rosihan menilai situasi tersebut harus segera disikapi pemerintah, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pria yang duduk di Komisi IV DPR RI itupun mengingatkan, bahwa Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Baca Juga:  Ketua Komisi V DPRD NTB : Lembaga Pendidikan Garda Terdepan Tanamkan Patriotisme

“Prinsip hilirisasi mineral adalah langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah, tetapi jangan sampai prinsip kemakmuran rakyat yang dijamin konstitusi justru terabaikan. Kebijakan harus berpihak pada rakyat daerah penghasil tambang,” jelas Johan Rosihan.

Selain itu, dia merujuk pada UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2020, di mana kebijakan hilirisasi harus diiringi dengan kesiapan infrastruktur, termasuk pembangunan smelter. “Implementasi pasal-pasal dalam UU Minerba perlu memperhatikan asas kebermanfaatan, keadilan, dan keberlanjutan. Jangan sampai ada kekosongan kebijakan yang justru membuat ekonomi daerah terpukul,” tegasnya.

Oleh karenanya, pria yang juga Sekretaris Fraksi PKS MPR RI itu mendorong Kementerian ESDM untuk membuka ruang dialog dengan seluruh pemangku kepentingan, termasuk FKPL. Menurutnya, komunikasi yang baik akan menghasilkan solusi _win-win_, di mana pembangunan smelter tetap berlanjut namun kegiatan ekonomi lokal tidak lumpuh.

Baca Juga:  Ranperda Perlindungan PMI NTB Rampung, DPRD Tunggu Finalisasi Revisi UU Pusat

“Saya berharap pemerintah benar-benar mendengar suara daerah, karena stabilitas ekonomi Sumbawa Barat juga berarti menjaga stabilitas ekonomi nasional,” ujar Johan Rosihan. Untuk diketahui pula, sebelumnya FKPL dalam aspirasinya menegaskan bahwa sejak era PT Newmont hingga kini PT Amman Mineral, keberadaan tambang Batu Hijau menjadi penopang utama perekonomian KSB.

PDRB daerah sangat bergantung pada sumbangan sektor pertambangan, dengan kontribusi sekitar 79–84 persen. Oleh karena itu, kebijakan larangan ekspor konsentrat tanpa kesiapan penuh smelter dinilai sangat berisiko menimbulkan guncangan ekonomi lokal. (red)