NUSRAMEDIA.COM — Ombudsman RI Perwakilan Nusa Tenggara Barat nampaknya mulai mengendus “aroma tak sedap” terkait penerbitan paspor bagi pekerja migran. Pasalnya, dalam penerbitan paspor bagi pekerja migran, diduga kuat terjadinya maladministrasi bahkan sangat kental akan praktek percaloan.
Terkait hal ini pula, pihak Ombudsman NTB juga telah melakukan serangkaian investigasi. Mereka ingin mengungkap salah satu penyebab, mengapa menjadi pekerja migran secara ilegal masih saja dimintai meski resikonya sangat besar.
Padahal kasus menyedihkan kerap terjadi secara berulang kali menimpa pekerja migran. Contoh seperti tengggelamnya kapal rombongan pekerja migran beberapa waktu lalu.
Termasuk kasus-kasus lainnya mengundang keprihatinan berbagai pihak. Ombudsman NTB melihat kuatnya korelasi masih diminatinya cara illegal untuk menjadi pekerja migran salah satunya disebabkan oleh praktek pelayanan yang buruk.
Sebagaimana diungkapkan Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTB, Adhar Hakim, pihaknya telah melakukan investigasi selama dua bulan terakhir (Juni-Juli 2022) di Unit Layanan Paspor (ULP) Lombok Timur.
Dipilihnya ULP Lotim, sambungnya, lantaran Kabupaten Lotim adalah salah satu Kabupaten kantong penyumbang pekerja migran tersebsar di Tanah Air. Ombudsman NTB, masih kata dia, berulang kali menerima keluhan warga.
Terutama terkait sulitnya mengakses pelayanan M-Paspor. Ini diduga lantaran maraknya praktek percaloan, yang bahkan telah merusak sistem kerja ULP Lombok Timur, sehingga adanya praktek diskriminasi pelayanan antara pengguna calo dan non calo.
Ditegaskan Adhar Hakim, praktek percaloan yang dinilai merusak sistim kerja. Dari hasil investigasi tertutup Ombudsman NTB, ungkap Adhar Hakim, masih ditemukannya praktek perbedaan perlakuan.
Terutama pelayanan kepada warga yang mengurus paspor melalui calo dengan yang mengurus sendiri. “Bahkan ditemukan praktek pelayanan kepada pengurusan paspor melalui calo dilayani oleh ULP Lombok Timur dengan tidak lazim,” kata Adhar Hakim.
Pelayanan ULP Lombok Timur kepada sejumlah jaringan percaloan paspor, kata dia, dilakukan diluar jam resmi kantor. Yaitu sekitar pukul 06.00 Wita. Dimana saat ini, kantor ULP Lotim masih sepi dan dilayani hanya satu atau dua petugas.
Dia juga mengungkapkan, bahwa sejumlah calo diduga sangat leluasa keluar masuk di Kantor dan Ruangan ULP Lotim. Terlebih dapat masuk mengakses sejumlah petugas secara langsung.
“Biaya yang harus dikeluarkan oleh calon pekerja migran untuk memperoleh paspor sebesar dua juta lima ratus ribu rupiah (Rp 2.500.000),” kata Adhar Hakim.
Nominal itu dinilai, jauh diatas harga resmi yang ditetapkan pemerintah yakni hanya sebesar Rp 350 ribu saja (paspor biasa 48 halaman).
“Dalam praktek pelayanan paspor yang buruk di ULP Lombok Timur diduga kuat telah terjadi sejumlah bentuk maladministrasi,” kata Adhar Hakim.
Dugaan maladministrasi tersebut, sebut dia, antara lain seperti diskriminasi, penyalahgunaan wewenang, pengabaian kewajiban hukum, penyimpangan prosedur, perbuatan tidak patut, dan penundaan berlarut.
Maka dari itu, Ombudsman NTB mendukung sikap pemerintah yang menghentikan untuk sementara waktu pengiriman pekerja migran menuju Malaysia. Hal tersebut penting dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
Ini sambil menata kembali proses dan mekanisme pengiriman peklerja migran untuk menghindari berbagai kejadian yang tidak diinginkan. Namun melihat praktek pelayanan paspor yang buruk di ULP Lombok Timur, upaya keras pemerintah Indonesia bisa menjadi gagal.
“Karena masih terbukanya peluangan penerbitan paspor kepada pekerja migran dengan berbagai modus jika melihat buruknya standar kerja pelayanan di ULP Lombok Timur,” kata Adhar Hakim.
“Praktek buruk pelayanan paspor di ULP Lombok Timur sangat berdampak buruk,” sambung pria yang kink telah bergelad Doktor tersebut.
Dampak tersebut antara lainnya, ungkpa Adhar Hakim, pelayanan paspor yang disertai ketidakjelasan dan ketidaktertiban proses antrian, penyimpangan prosedur dengan meminta kelengkapan dokumen yang tidak sesuai dengan persyaratan.
Termasuk dalam memproses wawancara yang hasilnya tergantung pada persepsi petugas pemeriksa terhadap pemohon yang diwawancara membuka kesempatan bagi pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan dari pelayanan paspor biasa.
Biaya tinggi yang disebabkan oleh sistem antrian dan persyaratan yang tidak jelas dan sulitnya proses wawancara mendorong masyarakat untuk memanfaatkan jasa pihak ketiga dan/atau orang dalam dengan imbalan tertentu.
“Semakin besar imbalan yang diberikan, maka akan semakin berkurang hambatan yang dihadapi pemohon. Jika pemikiran bahwa permintaan imbalan atau pungli itu dapat memperlancar permohonan paspor biasa,” katanya.
“Maka akan menjadi kebiasaan yang mengakar dengan maksud untuk mempermudah urusan. Pungutan liar yang dilakukan oleh pihak ketiga atau calo mengakibatkan masyarakat terdorong.
Utamanya untuk terus menggunakan jasa calo ketika mengurus penerbitan paspor biasa. Membuka ruang bagi buruh migran non prosedural, karena kondisi kemudahan mengurus paspor melalui calo, dapat dimanfaatkan oleh pihak.
“Tertentu untuk mengirim orang bekerja di Luar Negeri tanpa melalui prosedur dengan motif Wisata, Ibadah (umroh), Kunjungan Keluarga, dan melanjutkan studi,” ucapnya berharap.
Berdasarkan hasil investigasi ini, sambung Adhar Hakim, selanjutnya Ombudsman RI Perwakilan NTB akan melakukan koordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM.
“Serta Dirjen Imigrasi agar dapat dilakukannya upaya perbaikan mengingat tingginya potensi maladministrasi dalam pelayanan paspor bagi pereja migran,” demikian Adhar Hakim. (red)