

NUSRAMEDIA.COM — Anggota DPR RI Komisi V dari Fraksi PKS, Abdul Hadi, menyampaikan keprihatinan mendalam saat meninjau langsung lokasi pasca kecelakaan KMP Tunu Pratama Jaya di perairan Selat Bali.
Dalam kunjungan kerja Komisi V DPR RI ke Banyuwangi, ia menegaskan bahwa tragedi ini adalah peringatan keras bagi semua pihak, khususnya Kementerian Perhubungan.
Yakni untuk segera membenahi tata kelola penyeberangan laut secara menyeluruh dan sistemik sesuai dengan semangat Asta Cita Presiden Prabowo, khususnya cita keempat:
“Mewujudkan pemerataan pembangunan dan konektivitas antar wilayah”, serta cita kelima: “Meningkatkan kualitas hidup rakyat dan memperluas perlindungan sosial.”
Menurut Abdul Hadi, insiden tenggelamnya kapal di Selat Bali bukanlah peristiwa tunggal yang berdiri sendiri. Ia menyebut bahwa kecelakaan demi kecelakaan yang terus berulang.
Seperti kasus KMP Yunicee pada 2021 dan kebakaran KM Barcelona V baru-baru ini di Sulawesi Utara, mencerminkan lemahnya pengawasan, minimnya prosedur keselamatan, dan buruknya disiplin administratif di sektor pelayaran nasional.
Ketika manifes penumpang tidak akurat, ketika tidak ada pengarahan keselamatan kepada penumpang, dan ketika alarm kebakaran digantikan oleh teriakan panik sesama penumpang, maka ini adalah cerminan kegagalan sistem, bukan sekadar kesalahan individu.
Dalam tragedi KMP Tunu Pratama Jaya, Abdul Hadi menyoroti adanya ketidaksesuaian data manifes dengan kenyataan di lapangan. Beberapa korban tidak tercatat dalam daftar penumpang resmi.
Hal ini melanggar ketentuan Pasal 137 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang mengatur bahwa seluruh penumpang dan barang wajib tercantum dalam manifes sebelum keberangkatan.
Ketidaksesuaian ini tidak hanya menyulitkan proses evakuasi dan identifikasi, tetapi juga berpotensi menyembunyikan kelebihan muatan dan memperbesar risiko kecelakaan.
Lebih lanjut, Abdul Hadi menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap para pemangku kepentingan di sektor pelayaran. Ia menyayangkan bahwa selama ini, ketika kecelakaan terjadi, tanggung jawab hanya dibebankan kepada nakhoda kapal.
Sementara, lanjut dia, peran penting regulator—terutama syahbandar yang menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB)—seringkali luput dari pengawasan dan akuntabilitas hukum. Padahal, syahbandar bertugas memastikan bahwa kapal memenuhi persyaratan keselamatan dan kelayakan sebelum diberangkatkan.
Kecelakaan seperti ini seharusnya menjadi momen evaluasi menyeluruh terhadap fungsi dan integritas lembaga pengawasan pelayaran. Abdul Hadi juga mengkritisi ketiadaan prosedur keselamatan dasar di atas kapal.
Tidak adanya pengarahan keselamatan atau simulasi evakuasi, serta minimnya akses terhadap alat keselamatan seperti pelampung dan sekoci, menjadi penyebab utama kepanikan dan korban jiwa.
Dia menyampaikan bahwa di lapangan, banyak penumpang selamat hanya karena secara kebetulan menemukan jaket pelampung yang tercecer di laut, bukan karena sistem keselamatan yang berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam konteks perlindungan korban, Abdul Hadi menegaskan bahwa negara harus hadir secara penuh. Ia meminta agar keluarga korban yang meninggal dunia, luka-luka, maupun kehilangan harta benda, baik yang terdaftar maupun tidak terdaftar dalam manifes, mendapatkan hak ganti rugi yang setimpal.
Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 137 ayat (2) dalam UU No. 66 Tahun 2024 tentang Pelayaran, yang menjamin hak ahli waris penumpang terhadap kompensasi meskipun korban tidak tercatat dalam manifes.
Diakhir pernyataannya, Abdul Hadi menyerukan perlunya reformasi total dalam sistem pelayaran nasional, khususnya pada sektor penyeberangan yang melibatkan kapal-kapal rakyat dan kapal feri.
Dia mendesak Kementerian Perhubungan untuk memperkuat sistem digitalisasi manifes, mewajibkan prosedur safety induction sebelum pelayaran, serta melakukan inspeksi berkala terhadap kelaikan kapal.
Eks Pimpinan DPRD NTB itu juga meminta Mahkamah Pelayaran menjalankan fungsinya secara penuh untuk menindak tegas pihak-pihak yang lalai, baik operator, perwira kapal, maupun pejabat pelabuhan.
“Kita tidak boleh membiarkan nyawa rakyat terus menjadi korban akibat kelalaian yang terus berulang. Setiap kecelakaan harus menjadi momentum perbaikan, bukan sekadar catatan musiman. Negara harus hadir, tegas, dan adil dalam menegakkan keselamatan pelayaran,” tutup Abdul Hadi. (red)













