OLEH : JOHAN ROSIHAN
SEKRETARIS FRAKSI PKS MPR RI
WAKIL KETUA BADAN PENGANGGARAN MPR RI
NUSRAMEDIA.COM — Senja di kaki Rinjani selalu menghadirkan ruang batin yang sunyi, namun penuh makna. Sembalun sore ini bukan sekadar bentangan keindahan alam, tetapi juga ruang kontemplasi tempat hati dan pikiran bisa berdialog dengan jujur. Tahun baru Hijriyah pun tiba, mengajak kita semua untuk tidak sekadar mengganti kalender, tetapi memaknai ulang perjalanan dan tujuan hidup.
Di tengah gegap gempita dunia yang dipenuhi kecemasan—mulai dari konflik Timur Tengah yang berkepanjangan hingga ancaman disintegrasi nilai—kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: masihkah kita tahu ke mana bangsa ini berjalan? Apakah kita sekadar menjadi penonton sejarah atau pembentuknya?
Maka dari tempat ini, dari sebuah dusun sunyi di lereng gunung Rinjani, saya ingin menelusuri ulang makna hijrah. Bukan dalam pengertian individual belaka, tetapi hijrah sebagai langkah kolektif menuju tatanan peradaban yang lebih adil dan bermartabat. Dari sinilah refleksi ini lahir, merangkai benang merah antara sejarah suci, tantangan global, dan amanat kebangsaan kita: Empat Pilar MPR RI.
JADI AGENDA PERUBAHAN
Hijrah adalah tindakan sadar untuk melakukan perubahan arah hidup secara total. Bagi seorang Muslim, hijrah tidak hanya berarti berpindah tempat, tetapi berpindah nilai, visi, dan orientasi hidup. Dalam konteks bangsa, hijrah bisa dimaknai sebagai keberanian untuk meninggalkan sistem yang korup, budaya yang permisif, dan pola pikir yang sempit.
Peradaban Islam yang dibangun Nabi di Madinah merupakan hasil dari proses hijrah yang tidak hanya fisik tetapi juga kultural dan institusional. Ia menata masyarakat yang plural, menjamin keadilan, dan membentuk sistem pemerintahan yang berpihak pada rakyat. Ini harus menjadi inspirasi bagi kita dalam menyusun sistem kenegaraan yang tidak hanya formalistik tetapi juga etis.
Bangsa Indonesia, yang kini dililit oleh berbagai krisis moral, ekonomi, dan politik, memerlukan semangat hijrah dalam skala nasional. Kita perlu keluar dari kebiasaan lama: birokrasi yang lamban, politik yang transaksional, dan ekonomi yang menjauh dari prinsip keadilan sosial.
Gerakan hijrah bangsa ini harus dimulai dari para pemimpin. Mereka harus menjadi teladan dalam kesederhanaan, integritas, dan keberanian mengambil keputusan demi kepentingan umum. Dari mereka, energi hijrah akan mengalir ke rakyat, membentuk kesadaran kolektif bahwa bangsa ini harus berubah untuk bertahan.
Hijrah bukan jalan yang nyaman. Ia penuh risiko dan godaan untuk kembali ke zona aman. Namun, sebagaimana Rasulullah berhasil membentuk tatanan baru di Madinah, kita pun bisa menciptakan Indonesia yang lebih adil jika keberanian hijrah ini benar-benar dijalankan dengan kesungguhan.
EMPAT PILAR MPR RI
Empat Pilar MPR RI bukanlah sekadar dokumen kenegaraan. Ia adalah warisan sejarah perjuangan bangsa dan pengejawantahan nilai-nilai luhur yang juga selaras dengan semangat hijrah Rasulullah. Pilar-pilar ini dirancang bukan hanya untuk menata pemerintahan, tetapi juga membangun peradaban.
Pancasila sebagai pilar pertama adalah rumusan nilai universal dan lokal yang mencerminkan integrasi antara agama, budaya, dan kebangsaan. Ia menjadi pedoman etis dalam membangun kehidupan berbangsa yang toleran, adil, dan bermartabat. Nilai-nilai hijrah—tauhid, keadilan, dan persaudaraan—menyatu di dalamnya.
UUD NRI 1945 memberikan dasar hukum dan institusional bagi bangsa Indonesia untuk menjalankan kehidupan demokratis yang konstitusional. Di dalamnya terkandung perlindungan terhadap hak rakyat, penegasan kedaulatan, dan mekanisme checks and balances. Ini serupa dengan Piagam Madinah yang menjadi landasan hukum negara Madinah.
NKRI sebagai bentuk negara menyiratkan pentingnya persatuan di tengah keragaman. Ini adalah bentuk nyata dari ukhuwah wathaniyah—persaudaraan kebangsaan—yang dalam sejarah Islam sangat dijaga Nabi di tengah masyarakat multikultural Madinah.
Bhinneka Tunggal Ika bukanlah slogan kosong, tetapi refleksi dari maqasid syariah yang menjunjung hak hidup dan kehormatan semua manusia, tanpa melihat latar belakang etnis atau agama. Semangat hijrah adalah membangun ruang kebersamaan yang setara, dan inilah jiwa dari semboyan nasional kita.
PERANG IRAN-ISRAEL DAN TANTANGAN PERADABAN GLOBAL
Konflik antara Iran dan Israel bukan hanya pertarungan antarnegara, melainkan simbol dari ketegangan ideologis dan geopolitik yang terus membayangi dunia Islam dan Barat. Dalam konteks ini, kita menyaksikan bagaimana kekuatan senjata, pengaruh global, dan kepentingan ekonomi mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Indonesia sebagai bangsa besar harus bersuara. Tidak cukup menjadi penonton. Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, Indonesia memiliki tanggung jawab moral dan strategis untuk mempromosikan perdamaian yang adil, bukan netralitas yang hampa. Indonesia harus kembali kepada khittahnya sebagai Negara yang ikut meloaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan.
Perang dan penjajahan adalah bentuk paling kasar dari ketidakadilan. Bangsa Indonesia yang lahir dari perjuangan melawan kolonialisme harus menolak segala bentuk penjajahan, termasuk atas rakyat Palestina yang hingga kini belum memperoleh kemerdekaan penuh.
Empat Pilar MPR RI, jika dihayati secara substansial, bisa menjadi dasar bagi diplomasi etis Indonesia di dunia internasional. Pancasila menjunjung perdamaian, keadilan, dan kemanusiaan. Inilah saatnya kita keluar dari retorika dan masuk ke panggung global dengan misi yang jelas.
Perang Iran-Israel adalah cermin kegagalan dunia dalam menjaga nilai-nilai peradaban. Indonesia harus hadir sebagai bagian dari solusi—mendorong dialog lintas iman, kerja sama pembangunan, dan sistem global yang adil. Semua ini hanya bisa dilakukan jika Empat Pilar kita benar-benar membentuk arah diplomasi luar negeri.
SAATNYA BANGKIT
Hijrah nasional berarti mentransformasi cara berpikir, cara memimpin, dan cara bernegara. Kita perlu hijrah dari politik yang penuh pencitraan menuju politik yang melayani. Dari pembangunan yang eksploitatif menuju pembangunan yang berkelanjutan.
Momentum tahun baru Hijriah adalah kesempatan untuk menata ulang visi bangsa. Kita tak boleh puas hanya menjadi negara demokrasi prosedural. Kita harus menjadi bangsa beradab, dengan politik yang beretika dan ekonomi yang menyejahterakan.
Perubahan ini harus dimulai dari sektor pendidikan, media, dan kepemimpinan. Nilai-nilai hijrah perlu diajarkan sejak dini sebagai cara pandang hidup: bahwa keberanian berubah adalah kekuatan, bukan kelemahan.
Bangsa ini masih punya harapan. Potensi SDM, kekayaan alam, dan warisan spiritual adalah modal utama untuk melakukan lompatan peradaban. Tapi itu hanya akan menjadi nyata jika kita semua mengambil bagian dalam gerakan hijrah nasional.
Mari kita mulai hijrah itu dari diri sendiri, dari komunitas kita, dan dari peran kita masing-masing. Empat Pilar MPR RI bukanlah tujuan akhir, tapi kompas yang membimbing bangsa ini menuju Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur. (red)
