Anggota Komisi IV DPR RI Dapil NTB 1 Pulau Sumbawa yang juga Sekretaris Fraksi PKS MPR RI/Wakil Ketua Badan Penganggaran MPR-H. Johan Rosihan, ST. Background foto Istana Dalam Loka-Sumbawa. (Ist)

NUSRAMEDIA.COM, OPINI — Sebuah angin segar bertiup dari Gedung Nusantara pada 15 Agustus 2025. Dalam pidato kenegaraannya di Sidang Tahunan MPR, Presiden Prabowo Subianto tidak hanya menyampaikan laporan kinerja pemerintahan, tetapi juga menunjukkan sesuatu yang selama ini kita rindukan: seorang pemimpin yang secara eksplisit mengutip dan merujuk pasal-pasal konstitusi sebagai landasan kebijakan. Fenomena ini bukanlah hal sepele dalam konteks kehidupan berdemokrasi dan bernegara Indonesia.

Selama beberapa dekade terakhir, referensi eksplisit terhadap pasal-pasal konstitusi dalam pidato kenegaraan presiden seringkali menjadi hal yang jarang terdengar. Padahal, konstitusi seharusnya menjadi kompas utama dalam setiap pengambilan keputusan politik dan kebijakan publik. Ketika seorang kepala negara kembali mengutip Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 dalam konteks efisiensi anggaran, atau merujuk pasal-pasal lain untuk menjelaskan kebijakan ekonomi kerakyatan, ini menandakan ada upaya serius untuk kembali menjadikan konstitusi sebagai rujukan utama pemerintahan.

Momentum ini menjadi sangat berharga di tengah berbagai tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita hadapi. Di era dimana skeptisme publik terhadap politik semakin tinggi, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara perlu terus diperkuat, langkah sederhana namun fundamental seperti ini memiliki makna yang mendalam. Pidato tersebut seolah mengingatkan kita bahwa Indonesia memiliki fondasi konstitusional yang kuat, yang jika dijalankan dengan konsisten akan mampu mengatasi berbagai persoalan bangsa.

Lebih dari itu, fenomena ini juga menunjukkan adanya kesadaran dari pemerintahan baru untuk tidak hanya berbicara tentang program dan capaian, tetapi juga tentang landasan hukum dan konstitusional dari setiap kebijakan yang diambil. Ini adalah sinyal positif bahwa pemerintahan tidak akan berjalan secara ad-hoc atau berdasarkan kepentingan sesaat, melainkan berdasarkan amanat konstitusi yang telah disepakati bersama oleh bangsa Indonesia sejak kemerdekaan.

Di Hari Konstitusi yang kita peringati ini, momentum tersebut layak dijadikan refleksi mendalam tentang bagaimana seharusnya kita, sebagai bangsa, menghidupkan konstitusi dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan hanya di level elit politik, tetapi di seluruh lapisan masyarakat dan kepemimpinan.

KEMBALI KE ROH KONSTITUSI

Ketika Presiden Prabowo menyebut Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 dalam konteks penghematan anggaran sebesar Rp 300 triliun yang “rawan diselewengkan,” beliau sedang menunjukkan bahwa konstitusi bukan sekadar dokumen mati yang tersimpan rapi di perpustakaan atau museum. Rujukan eksplisit ini menandakan pemahaman yang mendalam bahwa setiap rupiah APBN yang dikelola pemerintah harus dipertanggungjawabkan tidak hanya secara administratif, tetapi juga secara konstitusional. Pasal 33 ayat 4 yang mengamanatkan penyelenggaraan perekonomian berdasarkan prinsip efisiensi berkeadilan menjadi landasan moral dan hukum yang kuat untuk kebijakan penghematan tersebut.

Lebih jauh lagi, ketika Presiden membahas tentang penguasaan sumber daya alam dan merujuk pada pasal-pasal terkait, beliau sedang menegaskan kembali bahwa kekayaan alam Indonesia harus dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir orang atau korporasi tertentu. Rujukan konstitusional ini memberikan legitimasi yang kuat bagi berbagai kebijakan yang mungkin akan diambil, sekaligus menunjukkan kepada publik bahwa pemerintah berkomitmen untuk tidak menyimpang dari amanat konstitusi.

Pendekatan ini juga mencerminkan pemahaman yang matang tentang fungsi konstitusi sebagai “higher law” yang harus menjadi rujukan seluruh penyelenggara negara. Konstitusi bukan hanya aturan prosedural tentang bagaimana negara dijalankan, tetapi juga panduan nilai dan prinsip yang harus menginspirasi setiap kebijakan. Ketika seorang presiden secara eksplisit merujuk pasal-pasal konstitusi, ia sedang menunjukkan kepada seluruh jajaran pemerintahan dan masyarakat bahwa tidak ada kebijakan yang boleh bertentangan dengan konstitusi.

Yang tidak kalah penting, rujukan konstitusional dalam pidato kenegaraan juga berfungsi sebagai bentuk pendidikan konstitusi kepada masyarakat luas. Melalui media massa yang meliput pidato tersebut, masyarakat mendapat pembelajaran langsung tentang isi dan makna pasal-pasal konstitusi dalam konteks yang konkret dan aplikatif. Ini jauh lebih efektif daripada pembelajaran konstitusi yang bersifat teoritis dan akademis semata.

Sebagaimana disampaikan Ketua MPR Ahmad Muzani, UUD 1945 memang harus dipahami sebagai “konstitusi yang hidup” yang bukan hanya mengatur struktur dan prosedur kenegaraan, tetapi juga memberikan arah dan spirit dalam menjalankan pemerintahan. Ketika konstitusi hidup dalam setiap kebijakan dan pidato resmi pemerintah, maka cita-cita para pendiri bangsa untuk membangun Indonesia yang adil dan makmur akan memiliki fondasi yang kuat untuk diwujudkan.

Baca Juga:  DPRD Sumbawa Dorong UMKM Naik Kelas

DARI ISTANA HINGGA BALAI DESA

Yang menggembirakan dari fenomena ini adalah potensi efek domino yang bisa tercipta di seluruh tingkatan kepemimpinan di Indonesia. Jika pemimpin tertinggi negara menunjukkan komitmen untuk “hidup dalam konstitusi,” maka pemimpin-pemimpin di level bawah—mulai dari menteri, gubernur, bupati/walikota, hingga kepala desa—seharusnya juga terinspirasi untuk melakukan hal yang sama. Preseden yang diciptakan dari level paling atas ini memiliki kekuatan moral dan politik yang sangat besar untuk mengubah budaya kepemimpinan di seluruh Indonesia.

Bayangkan jika setiap kepala daerah dalam pidato kenegaraan atau laporan pertanggungjawabannya juga mengutip pasal-pasal konstitusi yang relevan dengan program dan kebijakan daerahnya. Misalnya, ketika membahas program pendidikan gratis, seorang gubernur bisa merujuk pada Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap warga negara untuk mendapat pendidikan. Ketika meluncurkan program kesehatan, bupati bisa mengutip Pasal 28H tentang hak hidup sejahtera lahir dan batin. Pendekatan ini tidak hanya akan memperkuat legitimasi kebijakan, tetapi juga memberikan edukasi konstitusi kepada masyarakat daerah.

Lebih konkret lagi, dalam rapat-rapat DPRD atau forum-forum publik lainnya, para pemimpin daerah bisa membiasakan diri untuk selalu mendasarkan argumentasi dan kebijakannya pada rujukan konstitusional. Hal ini akan menciptakan budaya berpolitik yang lebih substantif dan berbasis prinsip, bukan hanya kepentingan sesaat atau popularitas. Ketika setiap kebijakan selalu dikaitkan dengan amanat konstitusi, masyarakat akan lebih mudah memahami dan mengevaluasi kinerja pemimpin mereka berdasarkan standar yang objektif dan universal.

Di level yang lebih grassroot, kepala desa dan pemimpin komunitas juga bisa mengadopsi pendekatan serupa. Dalam rapat desa atau musyawarah masyarakat, mereka bisa menjelaskan bagaimana program-program desa sejalan dengan cita-cita konstitusi untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Misalnya, program BUMDes bisa dijelaskan dalam konteks Pasal 33 tentang ekonomi kerakyatan, atau program gotong royong bisa dikaitkan dengan semangat kekeluargaan yang diamanatkan konstitusi.

Efek jangka panjang dari budaya kepemimpinan yang berbasis konstitusi ini adalah terciptanya pemimpin-pemimpin yang tidak hanya populer atau karismatik, tetapi juga memiliki integritas konstitusional yang tinggi. Mereka akan terbiasa berpikir dan bertindak dalam kerangka konstitusi, sehingga keputusan-keputusan yang diambil akan selalu sejalan dengan cita-cita bangsa yang telah ditetapkan dalam konstitusi.

IMPLEMENTASI 4 PILAR MPR

Fenomena rujukan konstitusional dalam pidato presiden ini juga sejalan dengan upaya MPR dalam mensosialisasikan 4 Pilar kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Selama ini, sosialisasi 4 Pilar sering kali bersifat ceremonial atau akademis, dengan pendekatan yang cenderung formalistik dan kurang menyentuh aspek praktis kehidupan sehari-hari. Program-program sosialisasi seringkali berupa seminar, workshop, atau lomba-lomba yang pesertanya terbatas dan dampaknya kurang terasa di masyarakat luas.

Namun ketika melihat presiden secara langsung mengutip dan mengamalkan konstitusi dalam kebijakan nyata, masyarakat mendapat contoh konkret bagaimana 4 Pilar itu diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD 1945 bukan lagi sekadar hafalan atau slogan yang didengungkan dalam upacara bendera, melainkan panduan praktis yang benar-benar digunakan dalam menjalankan pemerintahan. Ini adalah bentuk pendidikan konstitusi yang paling efektif: learning by example, bukan learning by preaching.

Pendekatan ini juga menunjukkan bahwa 4 Pilar MPR bukanlah konsep abstrak yang terpisah dari realitas kehidupan sehari-hari, melainkan nilai-nilai operasional yang harus menjadi acuan dalam setiap pengambilan keputusan. Ketika presiden merujuk Pasal 33 untuk menjelaskan kebijakan ekonomi, ia sekaligus menunjukkan bagaimana Pancasila sila ke-5 tentang keadilan sosial dioperasionalisasikan melalui UUD 1945. Ketika kebijakan tersebut diterapkan di seluruh NKRI dengan mempertimbangkan keragaman daerah, maka prinsip Bhinneka Tunggal Ika juga terimplementasikan secara nyata.

Baca Juga:  Soroti Kebijakan SPB Kapal Penyebrangan, Dewan Syamsul Fikri 'Geram' : Pelayanan Terganggu dan Tak Efektif"

Lebih jauh lagi, pendekatan rujukan konstitusional ini bisa menjadi model bagi berbagai lembaga dan organisasi dalam melaksanakan program sosialisasi 4 Pilar. Alih-alih hanya mengajarkan isi pasal-pasal konstitusi secara tekstual, program sosialisasi bisa lebih ditekankan pada bagaimana pasal-pasal tersebut diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Contoh-contoh konkret dari kebijakan pemerintah yang berbasis konstitusi bisa menjadi bahan pembelajaran yang jauh lebih menarik dan mudah dipahami oleh masyarakat.

Di lingkungan pendidikan, guru-guru PKn dan sejarah bisa menggunakan pidato presiden tersebut sebagai bahan ajar yang menunjukkan relevansi konstitusi dalam kehidupan kontemporer. Siswa tidak hanya menghafal pasal-pasal konstitusi, tetapi juga memahami bagaimana pasal-pasal tersebut diterapkan dalam kebijakan publik yang konkret. Pendekatan ini akan membuat pembelajaran tentang konstitusi menjadi lebih bermakna dan aplikatif, tidak hanya teoritis dan abstrak.

TANTANGAN KONSISTENSI DAN AKUNTABILITAS

Tentu saja, mengutip konstitusi dalam pidato hanyalah langkah awal yang, meski penting, belum cukup untuk memastikan bahwa pemerintahan benar-benar berjalan sesuai amanat konstitusi. Tantangan sesungguhnya adalah konsistensi dalam implementasi sehari-hari. Apakah setiap kebijakan yang diambil, baik di level pusat maupun daerah, benar-benar sejalan dengan semangat konstitusi yang dikutip? Apakah ada mekanisme internal dalam pemerintahan untuk memastikan tidak ada kebijakan yang bertentangan dengan amanat konstitusi yang telah dirujuk dalam pidato resmi?

Pertanyaan kritis lainnya adalah bagaimana memastikan bahwa rujukan konstitusional bukan hanya retorika politik yang digunakan untuk melegitimasi kebijakan yang sebenarnya tidak sejalan dengan semangat konstitusi. Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa tidak jarang para pemimpin menggunakan simbol-simbol dan rujukan konstitusional untuk kepentingan politik praktis, sementara substansi kebijakannya justru bertentangan dengan nilai-nilai yang dirujuk. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme check and balance yang kuat untuk memastikan konsistensi antara retorika dan realitas.

Di sinilah peran penting lembaga-lembaga negara lainnya, termasuk MPR sebagai lembaga penjaga konstitusi, DPR sebagai pengawas pemerintah, dan Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi. Fungsi pengawasan dan evaluasi harus diperkuat untuk memastikan bahwa rujukan pada konstitusi bukan sekadar hiasan retoris, melainkan komitmen yang dijalankan secara konsisten. MPR, misalnya, bisa mengembangkan mekanisme monitoring dan evaluasi terhadap konsistensi implementasi kebijakan dengan rujukan konstitusional yang dikemukakan dalam pidato kenegaraan.

Masyarakat sipil dan media massa juga memiliki peran strategis dalam mengawal konsistensi ini. Ketika presiden atau pemimpin lainnya merujuk pasal tertentu dalam konstitusi untuk membenarkan kebijakan, masyarakat dan media harus kritis mengevaluasi apakah implementasi kebijakan tersebut benar-benar sejalan dengan semangat pasal yang dirujuk. Kritik konstruktif dan pengawasan publik yang berbasis pada standar konstitusional akan membantu menciptakan kultur akuntabilitas yang kuat dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Yang tidak kalah penting adalah perlunya pengembangan sistem evaluasi kebijakan yang berbasis konstitusi. Setiap kebijakan publik seharusnya tidak hanya dievaluasi berdasarkan efektivitas dan efisiensi, tetapi juga berdasarkan konsistensinya dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip konstitusional. Hal ini memerlukan pengembangan indikator dan metodologi evaluasi yang spesifik, serta pelatihan bagi para birokrat dan evaluator kebijakan untuk memahami aspek konstitusional dalam penilaian kinerja pemerintahan.

MENUJU GERAKAN NASIONAL MENGHIDUPKAN KONSTITUSI

Momen Hari Konstitusi yang kita peringati hari ini seharusnya menjadi titik awal gerakan nasional untuk menghidupkan konstitusi di seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan ini tidak boleh hanya menjadi monopoli elit politik atau akademisi, tetapi harus menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara, dari yang berpendidikan tinggi hingga yang sederhana, dari yang tinggal di kota hingga di desa terpencil, perlu memahami hak dan kewajibannya sebagaimana tertuang dalam konstitusi, serta bagaimana berkontribusi dalam mewujudkan cita-cita konstitusional.

Dalam konteks pendidikan, sekolah-sekolah di seluruh Indonesia perlu memperkuat pendidikan konstitusi yang tidak hanya menghafalkan pasal-pasal, tetapi memahami semangat, sejarah, dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Kurikulum pendidikan kewarganegaraan harus dirancang ulang agar lebih kontekstual dan aplikatif, dengan menggunakan contoh-contoh konkret dari kehidupan politik dan sosial kontemporer. Guru-guru perlu dibekali dengan pemahaman yang mendalam tentang konstitusi dan kemampuan untuk mengajarkannya dengan cara yang menarik dan mudah dipahami.

Baca Juga:  Harapan HUT RI ke-80, Anggota DPR RI F-PKS Johan Rosihan : "Merdeka Pangan, Merdeka Indonesia"

Media massa, baik mainstream maupun alternatif, perlu lebih aktif mengangkat isu-isu konstitusional dalam pemberitaan dan program-programnya. Alih-alih hanya fokus pada politik praktis dan gossip, media bisa lebih banyak mengulas kebijakan-kebijakan pemerintah dari perspektif konstitusional. Program-program edukasi tentang konstitusi juga perlu diperbanyak, dengan format yang variatif dan menarik untuk berbagai segmen audience. Media sosial juga bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan literasi konstitusi dengan cara yang kreatif dan viral.

Organisasi masyarakat, mulai dari organisasi keagamaan, organisasi profesi, hingga komunitas-komunitas lokal, perlu menjadikan konstitusi sebagai rujukan dalam berkegiatan dan berorganisasi. Nilai-nilai konstitusional seperti keadilan, persamaan, kebebasan, dan tanggung jawab sosial harus menjadi prinsip-prinsip operasional dalam setiap aktivitas organisasi. Dengan demikian, konstitusi tidak hanya hidup di ruang-ruang formal kenegaraan, tetapi juga di ruang-ruang informal kehidupan masyarakat.

Di level keluarga, orang tua perlu memperkenalkan nilai-nilai konstitusional kepada anak-anak mereka sejak dini. Konsep-konsep seperti keadilan, toleransi, gotong royong, dan cinta tanah air yang tercermin dalam konstitusi perlu ditanamkan dalam pendidikan karakter di rumah. Ketika anak-anak tumbuh dengan pemahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai konstitusional, mereka akan menjadi generasi yang secara natural menghormati dan mengamalkan konstitusi dalam kehidupan mereka.

Gerakan menghidupkan konstitusi ini juga harus didukung oleh inovasi dalam pemanfaatan teknologi. Aplikasi mobile, game edukasi, platform e-learning, dan berbagai tools digital lainnya bisa dikembangkan untuk membuat pembelajaran tentang konstitusi menjadi lebih interaktif dan menyenangkan. Teknologi virtual reality dan augmented reality bahkan bisa digunakan untuk menciptakan pengalaman imersif tentang sejarah perumusan konstitusi atau simulasi penerapan pasal-pasal konstitusi dalam berbagai skenario kehidupan.

PENUTUP

Pidato Presiden Prabowo di Sidang Tahunan MPR 2025 telah memberikan kita pelajaran berharga tentang pentingnya menghidupkan konstitusi dalam setiap aspek kepemimpinan dan pemerintahan. Ketika seorang pemimpin negara mengutip pasal-pasal konstitusi bukan sebagai formalitas atau hiasan retoris, melainkan sebagai landasan substantif bagi setiap kebijakan yang diambil, ia sedang menunjukkan jalan bagaimana seharusnya bangsa ini dikelola dengan integritas konstitusional yang tinggi. Pendekatan ini memberikan harapan baru bahwa Indonesia bisa kembali pada rel konstitusionalisme yang sesungguhnya.

Namun, momentum positif ini tidak boleh berhenti pada level simbolik atau retoris semata. Diperlukan upaya sistematis dan berkelanjutan untuk memastikan bahwa rujukan konstitusional dalam pidato kenegaraan diikuti oleh implementasi yang konsisten dalam setiap kebijakan dan program pemerintahan. Hal ini memerlukan komitmen tidak hanya dari eksekutif, tetapi juga dari seluruh lembaga negara dan masyarakat untuk secara bersama-sama mengawal dan memastikan bahwa konstitusi benar-benar hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mari kita jadikan momentum ini sebagai awal kebangkitan kesadaran berkonstitusi di seluruh lini kepemimpinan dan lapisan masyarakat. Dari istana hingga balai desa, dari ruang rapat kabinet hingga rapat RT/RW, dari ruang kelas hingga ruang keluarga, konstitusi harus menjadi panduan yang hidup dan diamalkan. Ketika konstitusi tidak lagi dipandang sebagai dokumen kuno yang hanya relevan bagi ahli hukum dan politisi, tetapi sebagai kompas moral dan hukum yang memandu setiap warga negara dalam berkontribusi bagi kemajuan bangsa, maka cita-cita para pendiri bangsa akan memiliki peluang yang lebih besar untuk diwujudkan.

Sebab pada akhirnya, konstitusi yang hidup dalam kesadaran dan praktik seluruh bangsa adalah jaminan terbaik bagi terwujudnya Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana dicita-citakan dalam Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Konstitusi bukan hanya warisan sejarah yang harus dijaga, tetapi juga instrumen hidup yang harus digunakan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia. Selamat Hari Konstitusi, 18 Agustus 2025. Semoga konstitusi selalu hidup dalam hati dan tindakan kita semua. Penulis adalah Sekretaris Fraksi PKS MPR RI/Wakil Ketua Badan Penganggaran MPR-H. Johan Rosihan, ST. (red)