
NUSRAMEDIA.COM — Program Bincang Kamisan yang digagas Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik (Kominfotik) Nusa Tenggara Barat (NTB) kembali digelar untuk edisi ke-18 dengan mengangkat topik krusial: mitigasi bencana dan perubahan iklim.
Diskusi berlangsung di Unit Pelayanan Teknis Layanan Digital Command Center, Kantor Gubernur NTB, dan menghadirkan pembahasan mendalam dari tiga narasumber yang mewakili BMKG, BPBD, dan media.
Dalam forum itu, Prakirawan Ahli Muda BMKG Stasiun Zainuddin Abdul Madjid (ZAM), Dhian Yulie Cahyono, memaparkan bahwa perubahan iklim global saat ini tidak terlepas dari dampak revolusi industri yang memicu peningkatan suhu bumi.
“Revolusi industri menjadi penyebab meningkatnya suhu bumi yang berdampak pada perubahan musim dan cuaca ekstrem,” jelas Dhian. Ia menyebutkan bahwa puncak musim hujan di NTB diperkirakan terjadi pada Desember hingga Januari, sementara pada akhir November curah hujan mulai merata di seluruh wilayah.
Dhian juga menegaskan bahwa potensi megathrust telah terkonfirmasi secara ilmiah, meski waktu kejadiannya tidak dapat diprediksi. “Indonesia kini sudah dilengkapi sensor pemantauan gempabumi dan ketinggian muka air, sehingga deteksi dini dapat dilakukan lebih baik,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Pelaksana BPBD NTB, Ir. H. Ahmadi S.P-1, menekankan pentingnya mitigasi bencana yang dilakukan secara konsisten dan melibatkan berbagai pihak. “Kita harus membangun kesiapsiagaan setiap saat, karena bencana bisa terjadi kapan pun,” tegasnya.
Ahmadi menjelaskan bahwa sinergi lintas sektor menjadi kunci dalam memperkuat mitigasi bencana. Ia juga mengingatkan bahwa potensi gempa bumi yang diikuti tsunami memiliki waktu respons yang sangat sempit.
“Waktu antara gempa dan kemungkinan datangnya tsunami hanya sekitar 10 hingga 20 menit. Jika waktu tersebut tidak dimanfaatkan, risiko jatuhnya korban jiwa akan sangat besar. Karena itu, masyarakat harus memiliki kemampuan evakuasi mandiri,” ujarnya.
Dari sisi media, pewarta Kantor Berita Antara, Sugiarto Purnama, memaparkan peran media dalam memastikan informasi kebencanaan tersampaikan secara akurat kepada publik. “Media bisa mendapatkan data dan informasi langsung melalui grup online dengan BMKG,” ungkapnya.
Sugiarto menegaskan bahwa keakuratan data menjadi fondasi penting dalam membangun kepercayaan publik terhadap informasi kebencanaan. “Ketika berita memiliki basis data yang kuat, masyarakat akan lebih percaya,” tutupnya.
Selain membahas isu kebencanaan, diskusi juga menyoroti dampak perubahan iklim pada sektor sosial dan ekonomi, termasuk pergeseran musim tanam, perubahan ekosistem, serta kemampuan masyarakat dalam beradaptasi terhadap cuaca ekstrem. Para narasumber sepakat bahwa peningkatan literasi iklim dan kesadaran kolektif merupakan langkah strategis dalam menghadapi tantangan tersebut. (*)













