

OLEH :
H. SAMBIRANG AHMADI, M.Si
KETUA KOMISI III DPRD PROVINSI NTB
NUSRAMEDIA.COM — Ribuan orang memadati Bangsal, dermaga milik Provinsi NTB. Pintu masuk ke Gili Tramena (Trawangan, Meno dan Air) itu, menyambut kami dengan debur suara ombak dan angin asin dari laut.
Saat itu, langit cerah. Angin cukup bersahabat. Saat matahari perlahan menanjak, hawa panas pun mulai terasa, mengusir sisa-sisa kabut tipis yang menggantung di cakrawala.
Saya dan teman-teman Panitia Khusus (Pansus) RPJMD Provinsi NTB, bersama Ketua DPRD Provinsi NTB—Isvie Rupaeda, bersiap menyeberang ke Gili Trawangan.
Kami ke sana untuk menyaksikan langsung kebangkitan pariwisata, khususnya di atas lahan milik pemerintah provinsi. Bukan hanya untuk bekerja, tapi juga menyelami kenyataan dan keindahan pulau yang telah begitu lama jadi ikon NTB di mata dunia.
Kapal bergerak kencang. Dari atas speedboat Karya Bahari, tampak kecantikan tiga Gili—Trawangan, Meno, Air, seperti lukisan yang menggantung di antara langit dan laut.
Begitu kapal menghampiri tengah lautan, ombak mulai tak ramah. Beberapa rekan terlihat pucat karena panik. Ada juga yang mabuk laut. Saya berusaha tenang. Ada juga yang selalu tersenyum.
Bahkan ada yang teriak kegirangan. Begitulah perjalanan ke Gili, selalu punya cara menguji ketahanan dan ketulusan kita. Dalam hati saya berkata, ini sama seperti mengarungi ombak di lautan politik.
Sekencang apapun ombaknya, kita hadapi, yang penting kita bisa nambat dengan tenang. Tiba di Gili, suasana langsung berubah. Seperti masuk ke dunia lain. Ramai, padat, hiruk pikuk.
Sepeda dan cidomo berlalu-lalang. Musik mengalun dari kafe-kafe di pinggir pantai. Wisatawan asing berjemur, menyelam, berselancar. Indah. Tapi juga membuat hati tergerak.
Di balik pesona, ada ironi, ada paradoks. Kami menyusuri lahan 65 hektar milik provinsi. Di sana terpajang poster-poster di pohon dan pagar rumah: “Kami Ingin Sertifikat Hak Milik.”
Kepada teman-teman saya katakan, inilah dampak dari pembiaran terlalu lama. Dulu lahan ini dikuasai PT GTI yang tak pernah membangun sesuai rencana. Kini warga menempatinya.
Membuat bangunan, membuka usaha. Uang berputar cepat. Tapi pemerintah? Hanya menerima PAD Rp1,8 miliar tahun 2024. Padahal diperkirakan, miliaran rupiah beredar di Trawangan setiap hari. Pertahun bisa tembus triliyun rupiah. Ironi yang begitu nyata.
Ini sekedar refleksi, renungan. Saya jatuh cinta pada Gili. Pada senja yang memerah, pada tawa anak-anak muda lokal, yang mengais rezeki di sana. Saya ingin Gili ini tetap lestari, tetap jadi ikon NTB yang mendunia.
Tapi itu tak bisa dibiarkan mengalir sendiri. Harus ada tangan besi pemerintah. Tertibkan triliyunan uang beredar per tahun di sana. Masa iya, hanya secuil masuk ke kantong provinsi.
Tata kelola gili harus dibenahi. Gili harus dibawa dari kawasan wisata massal menuju wisata berkualitas. Tapi pastikan dulu: gili bukan kawasan konservasi! Gili Trawangan memang indah. Cocok untuk mengendapkan hati.
Para penentu kebijakan sesekali perlu ke sana. Tinggalkan debat panas di ruang kantor. Tenangkan jiwa. Jernihkan pikiran. Siapa tahu, seperti deru ombak mengguncang, sekencang itu pula pendapatan daerah yang kita terima. Halal. Tidak pakai ribut. Apalagi bocor. (red)












