Beranda PEMERINTAHAN UU Cipta Kerja Jadi Instrumen Kebijakan yang Esensial Meski Kontroversial

UU Cipta Kerja Jadi Instrumen Kebijakan yang Esensial Meski Kontroversial

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Nusa Tenggara Barat I Gede Putu Aryadi, S.Sos, M.H menghadiri sebuah kegiatan Seminar Nasional di Hotel Grand Legi Mataram. (Ist)

NUSRAMEDIA.COM — Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Nusa Tenggara Barat terus aktif mengambil peran penting dalam berbagai program dan kegiatan terkait perlindungan tenaga kerja.

Dalam mengawal dan menyelaraskan kebijakan nasional dengan kebutuhan lokal, Kepala Disnakertrans NTB I Gede Putu Aryadi, S.Sos, M.H menghadiri sebuah kegiatan Seminar Nasional di Hotel Grand Legi Mataram, Sabtu (22/06/2024).

Kehadiran Kadisnakertrans NTB itu sebagai narasumber utama bersama Prof, Dr. Hadi M Guru Besar Unair Surabaya. Adapun tema besar yang diangkat dalam kegiatan itu, yakni “UU Cipta Kerja : Antara Perlindungan Buruh/Pekerja VS Investasi di Daerah/Negara”.

Dikesempatan ini, I Gede Putu Aryadi mengungkapkan bahwa Undang-Undang (UU) Cipta Kerja menjadi instrumen kebijakan yang esensial meskipun kontroversial. Dia juga menggarisbawahi tujuan utama dari UU ini.

Yaitu untuk meningkatkan daya tarik investasi, membangkitkan UMKM dan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Termasuk mendorong peningkatan kesejahteraan serta perlindungan bagi buruh/pekerja.

“Meski begitu yang jadi pertanyaan, apakah UU ini benar-benar bisa memicu investasi?, dan apakah masuknya investasi asing benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat setempat? Ini perlu diuji melalui fakta-fakta konkrit dilapangan,” ujarnya.

Baca Juga:  Kolaborasi Tingkatkan Keterampilan Digital ASN di NTB

Aryadi memaparkan berdasarkan data BPS, jumlah angkatan kerja di NTB mencapai 3,01 juta jiwa, dengan penambahan rata-rata 150-200 ribu per tahunnya. Tahun 2023-2024, jumlah angkatan kerja di NTB bertambah sekitar 163 ribu orang.

“Jika penambahan angkatan kerja ini tidak diimbangi dengan penyediaan kesempatan kerja yang memadai, ini akan menjadi masalah serius,” terang mantan Irbanus pada Inspektorat NTB tersebut.

Karena itu Aryadi menekankan bahwa, Disnakertrans NTB sangat sensitif dalam menyambut investasi asing. Karena jika penanganannya salah, investasi asing bisa menjadi bencana bagi daerah.

Selain itu, dikatakan pula bahwa dalam dua tahun terakhir ini, NTB menjadi tujuan berbagai proyek strategis nasional, dengan fokus utama di Mandalika dan Sumbawa Barat. Di Pulau Lombok, sektor pariwisata menjadi core bisnis utama dengan rencana pembangunan 9 hotel bintang lima di KEK Mandalika.

Di Pulau Sumbawa, ada proyek strategis nasional di sektor tambang. Di Sumbawa Barat saat ini sedang berlangsung pembangunan smelter oleh PT Aman Mineral Nusa Tenggara dengan mitra usaha 627 perusahaan.

Saat ini, PT Aman Mineral mempekerjakan sekitar 29.000 orang, naik dari 9.700 orang pada tahun 2022. Pembangunan smelter ini diharapkan selesai pada bulan Agustus tahun ini. Di bagian timur, ada PT Sumbawa Timur Mining.

Baca Juga:  Persiapan Sail to Indonesia 2024 Dimatangkan

Sebuah perusahaan tambang emas, berencana memulai produksi eksploitasi sekitar tahun 2028 atau 2030. Saat ini, perusahaan tersebut memiliki 27 mitra usaha dan sedang dalam tahap eksplorasi.

“Keberadaan proyek strategis nasional ini tentunya akan dapat mendorong terciptanya berbagai industri turunan dan memberikan dampak investasi yang besar,” jelas mantan Kepala Dinas Kominfotik NTB ini.

Dengan hadirnya investasi yang masuk ke NTB tersebut, perlindungan bagi tenaga kerja tentu menjadi perhatian utama pemerintah daerah. Dia juga mengungkapkan bahwa terkait perlindungan pekerja, maka ada tiga yang menjadi sasaran utamanya.

“Pertama adalah angkatan kerja yang belum terserap bekerja, di mana proses perlindungannya ini yaitu kita harus memastikan dengan adanya investasi ini tenaga kerja yang ada di sekitarnya bisa terserap,” jelasnya.

“Yang kedua adalah tenaga kerja/buruh yang sudah bekerja, yaitu bagaimana tentang pemenuhan hak-haknya terutama saat mengalami masalah/kecelakaan/perselisihan lainnya. Ketiga adalah pekerja yang terkena PHK,” paparnya lagi.

Aryadi menjelaskan angkatan kerja di NTB banyak terserap disektor informal dimana sektor formal hanya mencakup sekitar 500-600 perusahaan menengah hingga besar dan sisanya sebagai pelaku UMKM.

Baca Juga:  Disnakertrans Sumbawa Galakkan Program PMI Cerdas

“Pekerja formal di NTB yang jumlahnya sekitar 700-800 ribu jiwa, dan sebagian besarnya telah mendapatkan perlindungan sosial ketenagakerjaan, kesehatan, dan hak-hak lainnya yang diatur oleh undang-undang,” ungkapnya.

Namun, pekerja informal atau bukan penerima upah, yang jumlahnya mencapai 1,6 juta jiwa di NTB, masih minim perlindungan. Kelompok ini mencakup pedagang asongan, ojek, marbot, petani, nelayan, dan sebagainya.

“Jika tidak ada perlindungan bagi pekerja informal ini, jumlah penduduk yang mengalami kemiskinan ekstrem akan terus meningkat,” kata pria yang dikenal ramah dan santun ini.

Untuk mengatasi masalah ini, Disnakertrans NTB bersama DPRD sedang merancang peraturan daerah yang bertujuan memberikan perlindungan bagi pekerja informal. Salah satu langkah yang diusulkan adalah alokasi dana dari Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan untuk melindungi pekerja informal.

Salah satu bentuk perlindungan lainnya yang dilakukan Pemda adalah terkait penerapan struktur skala upah. Ia mengakui bahwa pemerintah saat ini sedang giat mendorong penerapan struktur skala upah di perusahaan agar tercipta keadilan dalam pengupahan. (red)