
NUSRAMEDIA.COM — Akhir tahun 2022 lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan bahwa, 18 partai politik (parpol) akan berpartisipasi pada ajang pemilihan legislatif tahun 2024. Tercatat 9 parpol merupakan partai yang lolos parlemen di Nasional. Sisanya terdapat partai yang belum lolos ambang batas, kemudian sisanya lagi muncul beberapa partai baru.
Merespon perkembangan politik tersebut, Olat Maras Institute (OMI) bekerjasama dengan MY Insitute menggelar Rilis Hasil Survei “Popularitas dan Elektabilitas Partai Politik di Provinsi Nusa Tenggara Barat Jelang tahun 2024”. Sebagaimana disampaikan Miftahul Arzak-Direktur OMI bahwa, survei ini bertujuan bukan hanya untuk memperlihatkan perkembangan politik di NTB saja.
Melainkan, sambung dia, juga ada harapan-harapan dan penilian masyarakat terhadap partai politik. Pria yang kerap disapa Mifta itu menerangkan, survei ini dilaksanakan dengan pembiayaan pribadi Lembaga, sehingga jauh dari pengaruh-pengauh politik kepentingan. “Survei ini murni untuk masukan terhadap partai politik di NTB,” tegasnya, Selasa (17/01/2023) kepada media ini.
Menurut dia, survei dilaksanakan pada 29 Desember 2022 hingga 10 Januari 2023 dengan Margin of Error 3%, tingkat kepercayaan 95% dan tingkat heterogen sejumlah 0,3, sehingga mendapatkan responden sejumlah 800 orang. Responden tersebar di seluruh Kabupaten hingga tingkat Kecamatan di Provinsi NTB.
“Pertanyaan-pertanyaan seputar pengetahuan masyarakat NTB tentang partai politik, dan jika pada hari itu dilaksanakan pemilihan legislatif, maka masyarakat akan memilih partai mana,” katanya. Ini dikarenakan nama-nama calon belum terdaftar di KPU, maka pertanyaan masih seputar menanyakan nama partai politik.
Mifta mengatakan bahwa, tentunya perubahan-perubahan keterpilihan di tahun 2024 nanti bisa jadi berubah, tetapi paling tidak saat ini partai politik telah mengetahui rute mula untuk berjalan. Pada sesi awal, Parpol memiliki pekerjaan rumah (PR) untuk berbuat di tengah masyarakat.
Mayoritas masyarakat NTB menilai, masih kata Mifta, bahwa parpol masih sering muncul saat mendekati pemilihan saja, selain itu masih minim melahirkan kader-kader potensiap di tengah masyarakat dan masyarakat menilai hanya sebagai orang yang membawa bantuan sosial saja.
“Dari penjelasan tersebut perlu adanya pendidikan politik yang diberikan untuk kader parpol hingga masyarakat yang menilai tugas-tugas anggota legislatif,” tuturnya. Setelah itu, Mifta memantik pertanyaan kepada panelis apakah popularitas akan berbanding lurus dengan keterpilihan partai ?.
Dari hasil survei didapatkan urutan Popularitas partai politik dari yang paling dikenal hingga yang masih rendah pengetahuan masyarakat tentang parpol tersebut: PDI-P dengan popularitas menyentuh 92,2% dari masyarakat NTB, Golkar 90,2%, PAN 79,8%, PKS 76,8%, Demokrat 76,5%, PKB 76,1%, Nasdem 73,8%, Gerindra 71,2%, Perindo 66,4%, PBB 65,1%, Hanura 64,8%, PPP 62,8%, Garuda 48,1%, PSI 48%, Gelora 38,2%, PKN 26,2%, UMMAT 20,4%, dan Partai Buruh 18,8%.
Jika dilihat, popularitas partai politik ini berbanding lurus cukup berbanding lurus dengan keterpilihan parpol di Senayan pada daerah pemilihan (DAPIL) NTB 1 di Pulau Sumbawa dan NTB 2 di Pulau Lombok tahun 2019 lalu. Sedangkan elektabilitas partai politik disampaikan oleh Yadi Satriadi selaku peneliti MY Institute. Dipaparkannya bahwa elektabilitas partai politik ini dibagi menjadi dua daerah pemilihan. Dapil NTB 1 Pulau Sumbawa dan Dapil NTB 2 Pulau Lombok.
Untuk Dapil NTB 1 Pulau Sumbawa, pada tahun 2019 lalu diwakili oleh 3 Partai Politik, yaitu Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Namun, menjelang tahun 2024 kontestasi politik ada perubahan sedikit. Saat ini posisi Pertama diduduki oleh PAN dengan angka keterpilihan mencapai 18,3% pada seluruh masyarakat Pulau Sumbawa.
Kemudian disusul oleh Partai Nasional Demokrat (NASDEM) sejumlah 16,5% dan terakhir Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sejumlah 12,8% keterpilihan oleh seluruh masyarakat Pulau Sumbawa. Sedangkan urutan ke-empat dan kelima disusul oleh PDI-P dan Golkar. Gerindra yang dahulunya urutan pertama berada pada posisi keenam.
Ditambahkan Yadi, pada dapil NTB 2 pada tahun 2019 lalu diwakili oleh 8 partai politik, diantaranya Gerindra, Golkar, PKS, PPP, PDI-Perjuangan, PKB, Demokrat dan Nasdem pun mengalami beberapa rotasi. Dari hasil survei ada yang lolos parlemen ada juga yang keluar. Dari hasil survei menjelang tahun 2024 ini masyarakat memilih Gerindra 12,5% dari seluruh masyarakat Pulau Lombok, PKS 12,3%, PDI-P 12%, Golkar 9,3%, PAN 9,3%, PKB 5%, Demokrat 4,5%, dan diurutan terakhir terdapat Hanura 3,8%.
Sedangkan diurutan kesembilan terdapat PPP, dan partai Buruh urutan kesepuluh. Dari hasil survei tersebut yang sebelumnya PPP pada urutan keempat tahun 2019, saat ini berada pada urutan kesepuluh, sedangkan partai Nasdem yang pada tahun 2019 pada ururtan kedelapan, dari hasil survei saat ini pada urutan kesebelas.
Namun, nasib baik saat ini PAN yang pada tahun 2019 lalu tidak mendapatkan kursi, saat ini berada pada urutan kelima, begitu juga Hanura yang saat ini berada pada urutan kedelapan. Dari penjelasan yang disampaikan oleh Mifta dan Yadi, para penelis memberikan tanggapan. Pertama disampaikan oleh Alvian Hidayat dosen Hubungan Internasional Universitas Mataram, bahwa politik adalah bagian dalam kehidupan kita sehari-hari.
Melihat fungsi ruang publik saat ini sudah dikuasai oleh para penguasa atau milenial menyebutnya Buzzer. Hal itu juga yang menyebabkan PDIP, Golkar, PAN, PKS, itu mendapatkan keuntungan dari popularitas partainya serta tokoh-tokoh sentral yang ada dalam partai-partai penguasa tersebut.
Selain itu, dengan model pemilihan “proporsional Terbuka” akan menghadirkan figure-figur yang sering disorot oleh media, bahkan dampak buurknya adalah seorang elit politik itu lebih terkenal dibandingkan dengan partainya. Ditambahkan oleh Joni Firmansyah selaku Direktur Firmansyah Research dan Political Consultant sekaligus Direktur Riset Universitas Teknolgi Sumbawa.
“Psikologi pemilih kita khususnya di NTB masih cenderung tergolong sebagai pemilih sosiologis hal ini berarti kecendrungan masyarakatnya itu memilih berdasarkan agama, ras, suku, dan unsur kedekatan secara keluarga. Sehingga benar jika “figuritas” seorang tokoh politik itu akan akan sangat menunjang popularitas masyarakat sebagai wujud akselerasi kekuasaan,” kata Joni.
Diakhir Miftahul Arzak kembali menambahkan, yang mana ia menjelaskan bahwa, namun peta “percaturan” politik di NTB ini masih panjang. “Masih ada waktu satu (1) tahun untuk parpol dan kadernya membranding diri dan perubahan sikap pemilih dapat berubah setiap waktunya,” demikian disampaikan Mifta secara terbuka. (red)
