
NUSRAMEDIA.COM — Dalam upaya menjawab tantangan zaman dan memperkuat kembali jati diri kebudayaan bangsa, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) bersama Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) menggelar Sarasehan bertajuk “MPR RI dan Gerakan Kebudayaan : Merajut Keindonesiaan, Menjawab Tantangan Zaman” pada Agustus 2025 di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat.
Kegiatan yang dihadiri ratusan peserta dari kalangan pendidik, budayawan, tokoh adat, dan forum lintas etnis ini menghadirkan narasumber utama H. Johan Rosihan, ST yakni Wakil Ketua Badan Anggaran MPR RI, sekaligus Anggota DPR RI Dapil NTB 1 (Pulau Sumbawa).
Dalam paparannya, Johan menekankan pentingnya menghidupkan kembali “bale ngaji”—sebuah sistem pembinaan generasi muda yang berbasis pada nilai-nilai lokal, spiritual, dan moral di Tana Samawa. Menurutnya, bale ngaji bukan hanya tempat belajar mengaji.
Melainkan, lanjut dia, yaitu pusat pendidikan karakter dan benteng kebudayaan, yang bisa menjadi tameng menghadapi krisis moral, termasuk fenomena penyebaran narkoba yang kini menyasar anak-anak usia pendidikan dasar.
“Bale ngaji adalah rumah cahaya. Di sana ada adab, ada penghormatan pada ilmu, ada ketundukan kepada guru, dan yang terpenting: ada tameng dari gelapnya zaman,” ujar Johan Rosihan.
OBJEKTIFIKASI KRIK SELAMAT TAU SAMAWA
Sementara itu, Dr. Ihsan Syafitri, Ketua Pejatu Lembaga Adat Tana Samawa (LATS), menyampaikan pentingnya mengaktualisasikan falsafah hidup orang Samawa dalam kehidupan modern.
Ia menegaskan perlunya menghidupkan kembali nilai luhur dalam “Krik Selamat Tau Samawa” yaitu “*Kengila ko Nene, Katakit Boat Lenge*” yang berarti malu kepada Allah swt, takut melakukan hal-hal buruk.
“Nilai ini bukan slogan. Ia adalah pedoman hidup. Bila semua generasi muda mengamalkannya, maka kita tak perlu takut akan masa depan negeri ini,” tegas Ihsan.
SAKECO DAN PESONA BUDAYA LOKAL
Sarasehan ini juga dimeriahkan dengan penampilan istimewa dua siswi dari SMAN 3 Sumbawa Besar yang mempersembahkan seni “Sakeco”, sebuah seni tutur khas Samawa yang melagukan lawas-lawas (puisi rakyat) dengan langgam dan intonasi khas daerah.
Penampilan ini menyita perhatian dan memberi pengingat bahwa tradisi lisan adalah bagian dari kekayaan intelektual lokal yang harus dilestarikan.
Acara berlangsung khidmat, penuh semangat, dan dipenuhi dialog interaktif antara peserta dan narasumber. Di akhir acara, para pendidik dan budayawan menyampaikan komitmen untuk menjadikan bale ngaji sebagai simbol perlawanan terhadap dekadensi moral dan sebagai pusat pembentukan karakter anak bangsa.
Johan Rosihan menutup sarasehan dengan ajakan untuk membumikan kembali nilai-nilai luhur yang hidup di masyarakat, serta menjadikan kebudayaan sebagai instrumen strategis memperkuat keindonesiaan.
“Konstitusi sudah menegaskan bahwa negara wajib memajukan kebudayaan nasional. Sekarang, mari kita jadikan masyarakat sebagai pelaku utama dalam gerakan kebudayaan yang beradab dan berkeadilan,” pungkasnya. (*)
