Sekretaris Komisi V DPRD Provinsi NTB, Sitti Ari. (Ist)

NUSRAMEDIA.COM — Komisi V DPRD Provinsi NTB tengah mengebut pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Namun di balik percepatan ini, terselip pertanyaan kritis: apakah NTB benar-benar siap memperbaiki tata kelola PMI yang selama ini dinilai lemah dari hulu hingga hilir?

NTB tercatat sebagai daerah pengirim PMI terbesar keempat di Indonesia, tetapi kualitas layanan, perlindungan, dan penyiapan calon PMI masih kalah jauh dibanding daerah lain yang jumlah pengirimannya lebih besar.

Perihal ini diakui sendiri oleh Sekretaris Komisi V DPRD Provinsi NTB, Sitti Ari, dalam rapat pembahasan raperda, beberapa hari lalu. “Meski begitu kita kalah dalam tata kelola penanganan PMI dari hulu hingga hilir,” ungkapnya.

RAPERDA MENDESAK, TETAPI INFRASTRUKTUR LAYANAN MASIH NOL BESAR

Baca Juga:  Salman Alfarizi Sesalkan Pernyataan Kadis PUPR NTB, Minta Gubernur Bersikap - Sadimin Berikan Klarifikasi

Urgensi raperda memang tidak terbantahkan. Selama ini, banyak persoalan yang membelit PMI asal NTB: minimnya akses informasi, lemahnya pendampingan, hingga kerentanan terhadap praktik penempatan ilegal.

Sayangnya, pembahasan regulasi ini belum dibarengi kesiapan infrastruktur dan model layanan yang jelas. Komisi V mendorong adanya integrasi layanan perlindungan dan penempatan PMI, namun sampai kini belum ada konsep layanan terpadu yang bisa diandalkan pemerintah provinsi.

NTB BELAJAR KE JAWA TIMUR

Sitti Ari bahkan menyarankan agar Disnakertrans NTB melakukan studi komparasi ke Jawa Timur — provinsi pengirim PMI terbesar di Indonesia, dengan lebih dari 70 ribu PMI pada 2025.

Jatim sudah punya Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) yang menyambungkan berbagai layanan penting bagi calon PMI: mulai dari pembuatan ID, pengurusan paspor khusus PMI, konsultan penempatan, hingga integrasi dengan data kependudukan serta BPJS Ketenagakerjaan.

Baca Juga:  Pemprov NTB Dorong UMKM Naik Kelas Lewat Penguatan Ekosistem Digital dan Literasi Keamanan Siber

Sementara NTB? Belum memiliki fasilitas serupa. Bahkan rancangan anggaran untuk membangun LTSA pun belum bisa dipastikan.

“Saya kira NTB sangat butuh layanan terintegrasi untuk memudahkan PMI kita,” tegas Sitti.
“Namun apakah memungkinkan ada alokasi anggaran untuk itu, kami belum bisa pastikan.”

RAPERDA TANPA ANGGARAN?

Inilah titik kritisnya: regulasi bisa selesai, tapi apakah implementasinya berjalan tanpa dukungan anggaran dan infrastruktur memadai?
Tanpa LTSA atau layanan terintegrasi lain, perlindungan PMI berpotensi hanya berjalan di atas kertas.

Padahal, selama ini banyak kasus yang menimpa PMI NTB muncul karena lemahnya koordinasi, kurangnya akses layanan legal, dan ketiadaan ruang satu pintu untuk mengurus dokumen secara aman.

Baca Juga:  Pemprov Mantapkan Strategi “NTB Connected”

Raperda ini diharapkan menjawab persoalan-persoalan tersebut — tetapi tanpa komitmen anggaran, NTB bisa kembali mengulang pola lama: regulasi disusun, masalah tetap mandek.

MASYARAKAT PMI MENANTI LANGKAH NYATA

Komisi V menyebut mereka sudah mengundang banyak elemen masyarakat dalam penyusunan raperda ini. Namun publik berharap bahwa regulasi ini bukan hanya formalitas, melainkan benar-benar menghasilkan:

Antara lainnya seperti sistem penempatan yang aman, layanan legal yang mudah diakses, dan perlindungan komprehensif dari sebelum berangkat sampai kembali ke daerah asal.

Kini bola ada di tangan pemerintah provinsi. NTB harus memutuskan: mau bebenah serius seperti Jatim, atau kembali menjadi daerah pengirim besar dengan perlindungan kecil? (red)