

NUSRAMEDIA.COM — Sebanyak lima fraksi di DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan tegas menyatakan penolakkan atas usulan dilakukannya interpelasi terkait Dana Alokasi Khusus (DAK) di Provinsi NTB 2024.
Lima fraksi di Udayana itu meliputi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Amanat Bintang Nurani Rakyat (ABNR).
FRAKSI ABNR
Fraksi ABNR DPRD NTB yang diketuai oleh Hasbullah Muis Konco menyatakan dengan tegas pihaknya menolak atas usulan penggunaan hak interpelasi terkait pengelolaan DAK Pemprov NTB tahun 2024.
Penolakkan itu bukan tanpa alasan, melainkan pihaknya telah melakukan kajian matang. “Karena secara formal belum memenuhi syarat dan secara materil lebih tepat diajukan melalui mekanisme pengawasan biasa oleh komisi-komisi DPRD,” tegasnya.
Pihaknya juga mendorong komisi-komisi DPRD untuk melakukan pengawasan secara intensif terhadap pelaksanaan DAK. “Termasuk menindaklanjuti temuan-temuan yang ada, tanpa perlu menggunakan hak interpelasi,” kata Konco akrabnya ia disapa.
Kemudian, masih kata dia, Fraksi ABNR mendorong mengoptimalkan pengawasan DPRD melalui mekanisme yang sudah ada. “Seperti rapat kerja dengan Pemda, kunjungan lapangan, dama koordinasi dengan BPK serta APH,” ujarnya.
Tak hanya itu, kata Konco, pihaknya juga mendorong agar memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan DAK. “Termasuk meminta Pemda untuk menyampaikan laporan secara berkala mengenai realisasi dan penyerapan DAK,” tegasnya.
Dalam konteks usul hak interpelasi terkait pengelolaan DAK, menurut dia, Fraksi ABNR berpendapat bahwa mekanisme pengawasan biasa oleh Komisi-Komisi DPRD lebih tepat untuk digunakan.
“Sehingga tidak mengganggu kinerja Pemerintah Daerah dalam melaksanakan program-program prioritas,” demikian dikatakan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) di Udayana jebolan Dapil II Lombok Barat-Lombok Utara tersebut.
FRAKSI PKS
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Fraksi PKS DPRD NTB Patompo Adnan. Menurut dia, usulan penggunaan hak interpelasi yang diajukan oleh belasan anggota DPRD NTB belum memenuhi syarat.
“Tidak memenuhi syarat substansial. Sesuai dengan pasal 159 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, interpelasi tidak relevan,” kata pria yang kerap disapa Tuan Guru Patompo itu.
Menurut dia, ada mekanisme pengawasan lain yang lebih tepat. Ini sesuai dengan Pasal 154 ayat (1) huruf g UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD memiliki fungsi pengawasan yang dapat dilakukan melalui
mekanisme lain.
“Seperti rapat kerja, panitia khusus (pansus), atau audit oleh BPK. Mengingat belum ada temuan resmi dari BPK atau APH terkait penyimpangan dalam pengelolaan DAK, penggunaan hak interpelasi belum dapat dibenarkan secara hukum,” jelasnya.
Tak hanya itu, dikatakannya potensi penyalahgunaan hak interpelasi untuk kepentingan politik. Ini Berdasarkan Pasal 159 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Selain itu, prinsip efisiensi dan efektivitas pemerintahan pelaksanaan interpelasi akan memakan waktu, biaya, dan tenaga yang seharusnya dapat dialokasikan untuk agenda lain yang lebih mendesak,” terangnya.
“Jika persoalan pengelolaan DAK dapat diselesaikan melalui mekanisme rapat kerja antara DPRD dan eksekutif, maka penggunaan hak interpelasi hanya akan memperpanjang proses tanpa hasil yang lebih efektif,” imbuhnya.
Dia menegaskan, DAK merupakan kebijakan pemerintah pusat. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2022 tentang hubungan keuangan antara
Pemerintah pusat dan daerah, DAK merupakan bagian dari transter ke daerah yang bersumber dari APBN dan telah ditentukan penggunaannya oleh pemerintah pusat.
“Dengan demikian, pengawasan utama terhadap DAK merupakan kewenangan pemerintah pusat, bukan sepenuhnya tanggungjawab pemerintah daerah. Dan syarat formil pengajuan hak interpelasi tidak terpenuhi,” tegasnya lagi.
Berdasarkan beberapa kajian itu, Fraksi PKS DPRD NTB menyatakan penolakkan terkait interpelasi. “Kami menyatakan menolak usulan (penggunaan) hak interpelasi terhadap pengelolaan DAK di Provinsi NTB,” kata Legislator Udayana asal Dapil Lombok Tengah itu.
“Dan (Fraksi PKS DPRD Provinsi NTB) merekomendasikan agar pengawasan dilakukan melalui mekanisme yang lebih tepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” demikian Tuan Guru Patompo Adnan menambahkan.
FRAKSI PKB
Sementara itu, Ketua Fraksi PKB DPRD Provinsi NTB, Jumhur juga menyatakan bahwa hal serupa dengan ABNR dan PKS. Dimana usulan hak interpelasi yang diajukan belasan dewan dinilai belum memenuhi syarat.
Berkaitan dengan ini, pihaknya juga telah memberikan rekomendasi secara resmi, yakni surat tanggapan terkait interpelasi yang ditujukan kepada pimpinan DPRD Provinsi NTB.
“Berdasarkan kajian, kami menyampaikan kesimpulan menolak interpelasi, dan agar DPRD NTB melaksanakan fungsi pengawasan DAK melalui komisi-komisi,” tegas Ketua Fraksi PKB tersebut.
Sebelumnya, Akhdiansyah-Anggota F-PKB juga menilai bahwa usulan hak interpelasi terkait DAK masih terlalu prematur. “Langkah interplasi ini terlalu prematur,” kata Legislator Udayana jebolan asal Dapil VI Dompu, Bima dan Kota Bima tersebut.
Pria yang kerap disapa Guru To’i itu mengatakan, pihaknya sudah melakukan kajian mendalam yang menyimpulkan langkah interplasi DAK Pemprov NTB belum penting untuk dilakukan.
“Bahwa interplasi itu dalam kajian kami menjadi tidak penting. Pertimbangan hukum sudah dikaji,” ungkapnya. Justru mempertanyakan dasar dari usulan hak interpelasi.
Sebab, selama ini belum ada pihak yang berwenang yang memberikan kesimpulan apakah DAK itu bermasalah atau tidak. “Kan belum ada laporan pernyataan dari BPK atau pihak lain,” katanya.
Oleh karenanya, masih kata Guru To’i, selama belum ada laporan resmi dari pihak yang berwenang maka Fraksi PKB menilai penilaian DAK itu masih sebatas asumsi.
“Apa jadi dasar kita melakukan interpelasi. Belum ada pernyataan resmi dari yang berwenang,” demikian dikatakan Akhdiansyah anggota dewan yang duduk di Komisi III DPRD NTB tersebut.
FRAKSI PPP
Penolakan dengan pernyataan penolakan yang sama juga datang dari Fraksi PPP DPRD Provinsi NTB. Menurut Moh Akri selaku Ketua F-PPP NTB, pihaknya menyatakan juga telah melakukan kajian mendalam terkait usulan penggunaan hak interpelasi oleh sejumlah anggota dewan.
Menurut dia, usulan hak interpelasi belum memenuhi syarat. Ini sebagaimana diatur dalam UU Pemerintah Daerah Pasal 114 Ayat (1), Peraturan Tata Tertib DPRD Pasal 93 Ayat (1) dan (2). “Dan hingga saat ini belum ada laporan resmi dari BPK yang menyatakan terdapat persoalan terkait pengelolaan DAK,” tegasnya.
Selain itu, ia menilai justru kewenangan terkait DAK sepenuhnya menjadi ranah pemerintah pusat. Hal yang disampaikan Fraksi PPP juga sejalan dengan apa yang menjadi hasil kajian dari sejumlah fraksi lainnya.
Meski demikian, usulan diterima tidaknya interpelasi, kembali lagi kepada Pimpinan DPRD NTB. “Keputusan menerima atau menolak usul hak interpelasi adalah menjadi kewenangan Pimpinan DPRD, sebab fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD pada dasarnya bersifat pengawasan politik terhadap kebijakan daerah,” tutupnya.
FRAKSI GERINDRA
Selain sejumlah fraksi tersebut, Ketua Fraksi Gerindra DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat Sudirsah Sujanto juga angkat bicara terkait usulan penggunaan hak interpelasi oleh sejumlah anggota dewan NTB ini.
Menurut dia, DAK menjadi kewenangan penuh pihak pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Keuangan. “Pengelolaan DAK menggunakan skema matching grants dan specific grants, yang berada dalam ranah kewenangan Kementerian Keuangan,” ujarnya.
Dalam aspek evaluasi dan pengawasan, sambung Wakil Ketua Komisi IV DPRD NTB itu, pemeriksaan atas pengelolaan DAK dilakukan oleh BPK sebagaimana diatur dalam Pasal 63 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Dana Alokasi Khusus Fisik (BN.2024 (229).
“Dengan menerapkan prinsip lex specialis systematis, kewenangan evaluasi dan audit atas pengelolaan DAK secara hukum berada pada BPK. Oleh karena itu, Laporan Hasil Permeriksaan (LHP) BPK terhadap Keuangan Pemerintah Daerah menjadi instrumen validitas hukum utama dalam menentukan ada atau tidaknya permasalahan dalam pengelolaan DAK yang dimaksud,” jelasnya.
“Dengan pertimbangan yuridis yang dikemukakan itu, Fraksi Partai Gerindra DPRD NTB dengan ini menyatakan terhadap usulan hak interpelasi
yang diajukan sehubungan dengan pengelolaan Dana Alokasi Khusus, menolak dengan cataan,” tegas pria yang juga Ketua OKK DPD Partai Gerindra NTB tersebut.
Catatan itu, ungkap dia, yakni meliputi mendukung APH dalam proses penegakan hukum terkait kasus dugaan penyimpangan pengelolaan DAK di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Provinsi NTB.
Kemudian, pihaknya juga mendorong untuk meningkatkan kualitas pengelolaan DAK di Provinsi NTB ke depan. “Diperlukan penegasan terhadap prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam pcngelolaannya, serta berpedoman pada prinsip good governance,” sarannya.
“Selanjutnya, menguatkan mekanisme pengawasan baik dari internal pemerintahan maupun lembaga eksternal guna memastikan bahwa alokasi dan penggunaan DAK sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku serta
memberikan manfaat optimal bagi masyarakat,” demikian Sudirsah Sujanto.
Sekedar informasi, pernyataan penolakan usulan penggunaan hak interpelasi oleh sejumlah fraksi ini juga telah tertuang secara resmi melalui surat tanggapan masing-masing fraksi yang ditujukan kepada Pimpinan DPRD Provinsi NTB untuk dapat dijadikan perhatian bersama.
Pasalnya, dalam surat pernyataan penolakkan atau tanggapan kelima fraksi itu telah dijabarkan secara jelas dan terperinci. Dimana kelima fraksi itu menyatakan telah melakukan berbagai kajian atau pertimbangan yang matang dan mendalam.
Alhasil, kelima fraksi tersebut memberikan sejumlah point tanggapan/rekomendasi terkait usulan interpelasi DAK. Secara umum, kelima fraksi tersebut dengan tegas menyatakan penolakkan terkait usulan penggunaan hak interpelasi DAK oleh sejumlah anggota dewan lainnya. (red)