NUSRAMEDIA.COM — Potongan video aksi demo yang berdurasi sekitar 1 menit 23 detik di depan Kantor Gubernur NTB cukup marak di sosial media. Dalam video massa aksi yang mengatasnamakan diri Persatuan Usaha untuk Demokrasi (PSUD) itu mendapat sorotan dan kecaman dari berbagai pihak. Betapa tidak, dalam video pendek itu, nampak salah seorang oknum massa aksi sedang berorasi berbau ujaran kebencian/sumpah serapah.
Parahnya, hate speech itu diduga ditujukan kepada Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB). Terkait hal ini, sejumlah anggota DPRD Provinsi NTB pun angkat bicara. Anggota DPRD NTB, Patompo Adnan mengatakan, bahwa sesungguhnya sumpah serapah dan cacian yang diduga ditujukan ke Gubernur dilakukan oleh salah seorang oknum massa aksi PSUD tidaklah pantas.
“Ujaran sumpah serapah dan cacian yang dilakukan oleh PSUD terhadap Gubernur NTB yang sedang gencar membangun NTB Gemilang dalam demo yang dilakukan didepan Kantor Gubernur adalah ujaran yang tidak pantas untuk diucapkan oleh siapapun. Termasuk oleh PSUD,” tegasnya. Pria yang juga Ketua Fraksi PKS NTB itu mengecam keras atas sikap dalam menyampaikan pendapat yang dilakukan oleh salah seorang oknum massa aksi PSUD.
“Saya mengecam keras cara-cara yang tidak mengindahkan nilai-nilai keluhuran dalam menyampaikan pendapat seperti itu,” kata Legislator Udayana jebolan asal Dapil Lombok Tengah ini. Menurut Patompo Adnan, masih ada cara lain yang lebih baik dan elok dalam menyampaikan sebuah aspirasi. Tentunya dengan cara yang beradab. Mengedepankan nilai-nilai ketimuran juga agama, sehingga apa yang menjadi aspirasi dapat tersampaikan dengan baik. “Bukan dengan cara kasar, memaki dan mencaci,” geramnya.
Oleh karenanya, aparat penegak hukum (APH) diminta segera bertindak menyelesaikan persoalan tersebut. Karena, masih kata dia, jika dibiarkan, tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal yang tidak diinginkan kedepannya. “Saya berharap aparat hukum segera menyelesaikan masalah ini. Karena jika hal ini dibiarkan, maka akan jadi preseden yang buruk diwaktu yang akan datang. Bahwa setiap orang begitu mudah memaki seseorang didepan umum tanpa ada yang mencegahnya,” tegas Patompo.
“Karena tentu jika dibiarkan bebas mencaci seperti itu, maka bisa menimbulkan gejolak sosial yang berakibat pada rusuh sosial. Tentu hal ini tidak kita inginkan terjadi dikemudian hari,” imbuhnya. Lebih jauh dikatakan pria yang kerap disapa Tuan Guru Patompo itu, seharusnya berbagau pihak harus mampu melihat setiap gerak langkah dan perjuangan Gubernur NTB.
Dimana orang nomor satu di NTB itu terus berupaya sekuat tenaga membuat daerah yang dicintai bersama ini dapat berdiri tegak meski banyaknya musibah yang melanda. “Selama ini daerah kita dilanda dua musibah secara beruntun. Gempa bumi dan Wabah Corona, dan kita lihat bahwa Gubernur sedang berupaya dengan kuat agar NTB ini tetap tegak ditengah banyaknya masalah yang mendera wilayah ini,” demikian.
SAMBIRANG : “SEPANTASNYA DITUNTUT”
Sementara itu, anggota DPRD NTB lainnya yaitu Sambirang Ahmadi juga memberikan tanggapan soal demonstrasi yang dinilai kasar/sarkatis ini. Menurut dia, kebebasan berpendapat yang diwujudkan dalam bentuk demonstrasi atau unjuk rasa adalah hak seluruh warga negara yang dijamin UUD.
“Tapi hak tersebut juga dibatasi oleh kewajiban untuk melindungi harkat dan martabat setiap orang,” tegas Sambirang Ahmadi. Eloknya, kata pria yang juga Sekretaris Fraksi PKS NTB itu, jika melakukan unjuk rasa sepatutnya menggunakan narasi-narasi yang tidak mengandung ujaran kebencian dan menyerang personal.
“Kalau kebijakan dikritisi atau diserang sama sekali tidak masalah. Itu bagian dari demokrasi,” kata anggota DPRD NTB jebolan asal Dapil Sumbawa-Sumbawa Barat tersebut. “Terhadap aksi tersebut, kami berpendapat itu sangat tidak patut, tidak bermartabat, bukan hanya bertentangan dengan local wisdom, tapi juga menciderai etika berdemokrasi. Sepantasnya dituntut, karena menurut saya sudah masuk kategori ujaran kebencian,” tambahnya.
Sambirang menjelaskan, ujaran kebencian itu termasuk di dalamnya penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi. “Termasuk menghasut, menyebarkan berita bohong, yang memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial,” pungkasnya. (red)