
NUSRAMEDIA.COM — Setelah melalui proses cukup panjang, akhirnya DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat secara resmi menyetujui ranperda tentang Perubahan APBD tahun anggaran 2025 menjadi perda.
Persetujuan itu dilakukan secara bersama antara eksekutif dan legislatif pada Rapat Paripurna DPRD Provinsi NTB tepatnya, Jum’at 26 September 2025 kemarin.
Walaupun telah disetujui, namun Badan Anggaran (Banggar) DPRD NTB memberikan sejumlah catatan penting untuk dijadikan perhatian oleh Gubernur-Wakil Gubernur NTB terkait pengalokasian APBD-P 2025.
Muhammad Aminurlah selaku Juru Bicara Banggar DPRD NTB menyampaikan, kesepakatan Perubahan APBD 2025 ini telah dilakukan secara bersama-sama sebagaimana mestinya.
Yakni merujuk sesuai Permendagri Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.
“Penyusunan ini berlangsung secara maraton, Banggar DPRD bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) mencapai beberapa kesepakatan,” kata Maman kerap pria itu disapa dalam laporannya.
Maman menyebut, pendapatan APBD-P 2025 ditargetkan Rp6,489 triliun. Jumlah ini naik Rp159 miliar atau 2,52 persen dari APBD murni 2025 sebesar Rp6,330 triliun.
Untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) ditargetkan Rp2,809 triliun, naik Rp298 miliar atau 11,90 persen dari APBD murni Rp 2,510 triliun. “Kenaikan ini terjadi pada pos-pos pajak daerah sebesar 3,72 persen,” katanya.
“Kemudian retribusi daerah 24,44 persen, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan 2,16 persen, dan pada pos lain-lain PAD yang sah sebesar 130,97 persen,” sambung Legislator PAN Udayana asal Dapil VI tersebut.
Sedangkan untuk pendapatan transfer, yakni sebesar Rp3,498 triliun turun Rp111 miliar atau 3,08 persen dari APBD murni Rp 3,609 triliun. Adapun pendapatan daerah lain yang sah Rp182 miliar, turun Rp28 miliar atau 13,35 persen dari Rp 210 miliar.
Belanja daerah ditargetkan Rp6,496 triliun, bertambah Rp264 miliar dari APBD murni Rp6,232 triliun atau naik 4,24 persen. Untuk rinciannya, belanja operasional Rp 5,049 triliun, belanja modal Rp 591 miliar, belanja tidak terduga (BTT) Rp 16 miliar, dan belanja transfer Rp 838 miliar.
“Sehingga surplus sebesar Rp264 miliar. Sedangkan pembiayaan daerah Rp167 miliar naik sebesar Rp142 miliar atau 570,70 persen dibandingkan dengan APBD murni 2025 sebesar Rp25 miliar,” ujar Maman.
Pengeluaran pembiayaan daerah sebesar Rp160 miliar, naik 30,94 persen dari APBD murni Rp122 miliar. Pembiayaan netto pada APBD-P sebesar Rp6,8 miliar berasal dari penerimaan pembiayaan Rp167 miliar.
“Angka ini berasal dari SILPA, dikurangi dengan pengeluaran pembiayaan berupa pembayaran cicilan pokok utang jatuh tempo Rp152 miliar dan penyertaan modal Rp8 miliar,” jelasnya.
SEJUMLAH CATATAN BANGGAR
Dikesempatan itu pula, Maman juga menyampaikan sejumlah catatan penting Banggar. Pihaknya menekankan kenaikan PAD dua digit harus disusun secara realistis, berbasis potensi riil, bukan sekadar optimisme angka.
“Karena itu, kami meminta pemerintah memperluas basis PAD berkelanjutan, melalui optimalisasi aset strategis daerah, peningkatan dividen BUMD, serta inovasi sumber pajak ramah lingkungan yang berkeadilan tanpa membebani masyarakat,” jelasnya.
Dari sisi belanja, Banggar menilai dominasi belanja operasi terlalu besar sehingga mempersempit ruang fiskal untuk belanja modal. Belanja pegawai yang mencapai Rp2 triliun juga diminta sesuai ketentuan maksimal 30 persen.
Ini dari total belanja sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD). “Banggar menekankan perlunya peningkatan belanja modal secara signifikan,” katanya.
“Minimal 15 persen, yang diarahkan pada sektor infrastruktur dasar seperti jalan provinsi, jaringan irigasi, serta pasar rakyat,” sambung pria yang juga anggota Komisi III DPRD Provinsi NTB tersebut.
Selain itu, Banggar meminta transparansi penuh soal portofolio utang daerah, termasuk jadwal pembayaran pokok dan bunga. Mereka juga menyoroti rencana penyertaan modal Rp8 miliar kepada PT Gerbang NTB Emas (GNE).
Maman menambahkan, pengelolaan aset daerah masih menjadi masalah klasik yang harus dibenahi. Dia juga menyoroti penggunaan BTT dalam APBD-P 2025 yang tercatat lebih dari Rp500 miliar.
“Kami juga memberikan catatan serius terkait penggunaan BTT dalam APBD-P 2025 tercatat mencapai Rp500 miliar lebih. Ini harus dipertanggungjawabkan secara penuh, baik di depan DPRD maupun di hadapan masyarakat,” katanya.
Banggar juga meminta APBD-P 2025 diarahkan pada tiga prioritas utama: pengentasan kemiskinan ekstrem, penguatan ketahanan pangan, dan efisiensi belanja. Kemudian, perhatian diberikan pada persoalan tenaga honorer dan PPPK.
Termasuk 800 pegawai PPPK paruh waktu yang belum terakomodasi. Sektor kesehatan juga jadi sorotan, terutama peningkatan anggaran RSUD Provinsi NTB yang harus berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pelayanan.
WAGUB APRESIASI MASUKAN BANGGAR
Wakil Gubernur NTB Indah Dhamayanti Putri mengapresiasi masukan Banggar terhadap Ranperda Perubahan APBD NTB Tahun Anggaran 2025. “Kami mengapresiasi semua anggota dewan telah ikut dalam menyusun APBD-P bersama TAPD,” ujarnya.
Menurut orang nomor dua di NTB tersebut, bahwa catatan yang disampaikan pihak Banggar menjadi hal penting untuk disikapi secara bersama-sama. “Catatan ini penting untuk kita bersama untuk terus menjadi mitra yang baik,” demikian Wagub.
PDI-P AJUKAN NOTA KEBERATAN
Disisi lain, sebanyak empat (4) anggota DPRD NTB yang tak lain adalah politisi dari PDI Perjuangan menyampaikan nota keberatan terhadap Ranperda Perubahan APBD Tahun Anggaran 2025.
Mereka dalah Raden Nuna Abriadi dari Dapil II Lombok Barat-Lombok Utara. Made Slamet dari Dapil I Kota Mataram. Abdul Rahim dari Dapil V Sumbawa-Sumbawa Barat, dan Suhaimi dari Dapil VIII Lombok Tengah.
“Nota keberatan kami menyangkut komponen belanja daerah, khususnya belanja BTT dan komponen pembiayaan PT Gerbang NTB Emas (GNE) sebesar Rp8 miliar,” kata Abdul Rahim saat melakukan interupsi.
Bram kerap politisi PDI-P itu disapa memyebutkan bahwa jawaban Gubernur yang disampaikan Pj Sekda NTB Lalu Moh Faozal terkait BTT dan PT GNE tidak komprehensif serta tanpa data pendukung.
Menurutnya, penggunaan BTT harus sesuai PP Nomor 12 Tahun 2019 dan hanya diperbolehkan untuk keadaan darurat yang tidak bisa diprediksi, seperti bencana alam, bencana sosial, dan kejadian luar biasa.
Namun, Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal menerbitkan Pergub 06 Tahun 2025 tentang Pergeseran Anggaran yang dua kali menggeser anggaran BTT. Pergerseran pertama pada 28 Mei 2025 senilai Rp130 miliar dan pergeseran kedua Rp210 miliar.
Alhasil, sisa BTT tinggal Rp160 miliar dari total Rp 500 miliar di APBD Murni. Sementara realisasi penggunaan BTT tercatat Rp484 miliar lebih, menyisakan sekitar Rp16 miliar di APBD-P.
Oleh karena itu, ia menilai rincian penggunaan dana tersebut belum pernah dilaporkan secara transparan kepada DPRD. “Apalagi, dana BTT yang tidak dilaporkan secara transparan akan rentan menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari,” ujarnya.
Selain itu, penyertaan modal Rp8 miliar ke PT GNE juga ditolak PDI Perjuangan. Ini lantaran tanpa dokumen studi kelayakan usaha, analisis risiko, hingga hasil audit BPK. “PT GNE hingga kini justru dalam kondisi tidak sehat secara keuangan,” katanya.
“PT GNE memiliki tanggungan utang Rp 26,7 miliar, tunggakan pajak Rp 3,13 miliar, serta kerugian usaha Rp 3,37 miliar pada 2024,” sambung Abdul Rahim dihadapan Wakil Gubernur dan Pimpinan serta anggota DPRD NTB lainnya.
TANGGAPAN SEJUMLAH FRAKSI
Sekretaris Fraksi Demokrat DPRD NTB, Syamsul Fikri AR menilai nota keberatan yang disampaikan pihak PDI Perjuangan dinilai kurang tepat. Pasalnya, semua pembahasan diawal dinilai sudah clear.
Terlebih data yang disampaikan dinilainya juga masih ada kekeliruan dan justru terkesan tidak paham data. “Kita harus berbicara berdasarkan data, kan yang disebutkan (PDI-P) Rp160 miliar, padahal Rp161 miliar,” katanya.
“Kan sudah dibahas di awal (tingkat banggar). Artinya sudah tidak ada masalah lagi. Dan kenapa baru sekarang dibahas lagi?,” sambungnya menyayangkan. Kemudian Iwan Panjidinata dari Fraksi Gerindra DPRD NTB juga mengutarakan hal yang senada.
Legislator Udayana jebolan Dapil V Sumbawa-Sumbawa Barat itu apa yang disampaikan PDIP kurang tepat. Apalagi pembahasan BTT Rp 500 miliar seharusnya dilakukan pada paripurna sebelumnya.
Ia pun mengaku menyayangkan atas apa yang dilontarkan pihak PDI Perjuangan. Karena jika dibahas lagi persoalan itu, artinya pembahasan memgalami kemunduran. “Kalau membahas ini kembali kita mundur lagi,” kata Iwan Panji.
Sementara itu, Ketua DPRD Provinsi NTB Baiq Isvie Rupaeda memastikan nota keberatan PDI Perjuangan tetap dicatat dalam risalah rapat. “Kita terima apa pun keberatan itu,” kata politisi Partai Golkar tersebut.
“Intinya kita akan mengawasi belanja-belanja dan apa yang menjadi keputusan hari ini (kemarin),” imbuhnya. Pihaknya pun mengaku tidak bisa melarang setiap hal yang disampaikan. “Tidak bisa kita larang ya,” tutup Isvie. (*)













