NUSRAMEDIA.COM — Pemerintah Provinsi (Pemprov) melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Nusa Tenggara Barat menaruh perhatian lebih bagi para Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal NTB. Oleh karenanya, Disnakertrans Provinsi NTB mengajak seluruh jajaran terkait untuk menyamakan langkah/persepsi dan komitmen terwujudnya penempatan PMI secara prosedural.
Terlebih berupaya mencegah sekaligus menekan praktek-praktek unprosedural yang sangat merugikan. Demikian dikatakan Kepala Disnakertrans NTB, I Gede Putu Aryadi. Ajakan tersebut ditegaskan Kadisnakertrans NTB tepat pada saat memimpin rapat bersama Kadisnakertrans Kabupaten/Kota serta Pengurus Asosiasi Pengusaha PMI.
Turut pula dihadiri para Pengurus dan Anggota APPMI, APJATI serta ASPATAKI membahas Program Perlindungan PMI Pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru dalam mewujudkan Zero Unprpsedural PMI. Dikatakan pria yang kerap disapa Gde itu, dibukanya kembali kran penempatan PNi ke Malaysia, harus disiapkan dengan sebaik-baiknya, melalui pemenuhan persyaratan yang telah ditentukan.
“Tujuannya adalah untuk memastikan perlindungan kepada para PMI kita,” kata mantan Inspektur Pembantu Khusus (Irbanus) pada Inspektorat Provinsi NTB ini. “Kami ingin mendengar berbagai masukan konstruktif dari bapak/ibu para asosiasi dan perusahaan penempatan PMI untuk benar-benar kita bisa mewujudkan program zero unprosedural,” imbuhnya.
Dimana, kata Gde, hal ini telah menjadi komitmen Gubernur/Wakil Gubernur dan para Bupati/Walikota se-NTB. “Kita tentu harus memiliki komitmen yang sama. Bahwa kedepan tidak boleh lagi ada warga kita yang berangkat secara non prosedural,” tegasnya. Sementara itu, Kepala BP2MI NTB Abri Danar Prabawa menyampaikan, pihaknya dan Disnakertrans Provinsi maupun Kabupaten/Kota harus menyamakan persepsi.
Terutama, sambung dia, dalam mengatasi permasalahan PMI di Nusa Tenggara Barat yang berangkat secara unprosedural. “Kita butuh kebijakan baru,” kata Abri Danar Prabawa. “Kalau dilihat data penempatan di Malaysia sudah dua (2) tahun tertunda keberangkatannya. Jadi, dibutuhkan pengurusan ulang dokumen yang dimiliki oleh calon PMI, seperti perjanjian kerja, dokumen medical check up dan surat ijin keluarga,” ungkapnya lagi.
Bagi P3MI yang sudah memenuhi persyaratan dokumen, sambung dia, bisa mengajukan secara online dan selanjutnya akan diverifikasi oleh BP2MI layak atau tidaknya. “Kami lihat masih ada beberapa aturan yang belum di implementasikan,” ujar Abri. Disampaikan pula, dalam SISKOP2MI, khusus untuk pekerja disektor perkebunan sawit.
Diakuinya belum dijadikan mandatory terkait sertifikasi kompetensi. Jadi sertifikasi dan jabatan dapat menyesuaikan. “Jangan sampai sebuah kebijakan menjadi kendala melalukan pelayanan dan perlindungan bagi PMI NTB,” ucap Abri. Dikesempatan yang sama, Ketua APPMI NTB Muazzim Akbar mengatakan, perlunya komunikasi dan sinergi antara Disnakertrans Provinsi, Kabupaten/Kota dan BP2MI.
Dia juga berterimakasih dan mengapresiasi kepada Kepala Disnakertrans NTB yang telah menginisiasi pertemuan dan selalu berkolaborasi bersama asosiasi serta P3MI. “Sertifikasi kompetensi bagi pengusaha/P3MI setuju dilakukan karena semangat pemerintah untuk menjadikan PMI kita berkompeten,” kata Muazzim.
Namun khusus untuk sektor perladangan kelapa sawit, sertifikat kompetensi belum bisa diimplementasikan sepenuhnya sebagai persyaratan untuk pengurusan ID. Mengingat di NTB belum tersedianya LPK/BLK yg memiliki program pelatihan bidang perkebunan. “Lagi pula kemampuan Pemerintah untuk menyediakan anggaran sertifikasi belum memungkinkan,” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan Ketua ASPATAKI, Samsul menyampaikam bahwa untuk sektor perladangan dibutuhkan pelatihan yang tidak bisa dilakukan hanya beberapa hari saja. “Tetapi harus ada pelatihan jangka panjang. Jadi peserta tidak hanya belajar teori, tetapi harus ada praktek,” tegas Ketua ASPATAKI.
Selanjutnya, Ketua APJATI NTB Mohammadun menegaskan, pihaknya bersama AP2TKI terus berupaya meningkatkan kompetensi CPMI, termasuk untuk sektor ladang. Namun mengingat animo masyarakat yang ingin bekerja disektor ladang sawit ini sangat besar, maka pelatihan kompetensi dan sertifikasi belum bisa mengkover jumlah yang besar.
Sertifikasi kompetensi yang telah dilakukannya, dipersiapkan bagi CPMI yang akan ditempatkan disejumlah perusahaan besar perkebunan sawit di Malaisya. Dimana yang mensyaratkan adanya sertifikat kompetensi. Pertemuan tersebut menghasilkan dua kesepakatan sebagai kesimpulan.
Pertama, serifikat kompetensi belum wajib menjadi syarat ID Khusus Tenaga Kerja Sektor Peladangan Sawit. Namun perusahaan wajib memastikan bahwa PMI yang akan ditempatkan sebagai pekerja ladang telah memiliki kompetensi/keterampilan.
Adapun yang kedua, akan diwujudkan keseragaman syarat-syarat pelayanan di semua Kabupaten/Kota lingkup Nusa Tenggara Barat. Kesepakatan tersebut akan ditindaklanjuti dalam bentuk surat edaran Kepala Dinas Nakertrans Provinsi NTB kepada Kabupaten/Kota untuk keseragaman syarat pelayanan tersebut. (red)